Bisnis dan Pengelolaan Isu di Media Sosial

Artikel ini terakhir di perbaharui February 26, 2021 by Yoko Widito
Bisnis dan Pengelolaan Isu di Media Sosial

Suatu hari saya ada urusan di bank dekat kantor saya. Petugas bank meminjam KTP saya untuk difoto. Selesai urusan, saya kembali ke kantor, tidaks sadar bahwa KTP saya belum dikembalikan. Saya kembali ke bank tadi, dan meminta KTP saya. Petugasnya juga baru sadar. Ia menyerahkan KTP saya dan meminta maaf. Ini adalah keteledoran 2 pihak, petugas bank dan saya. Ia wajib menjaga keamanan dokumen nasabah. Saya juga wajib menjaga keamanan dokumen saya. Saya tidak marah kepada petugas itu.

Iseng saya ceritakan kejadian itu di laman Facebook saya. Sekali lagi, saya tidak menceritakannya dengan menjelekkan atau protes terhadap layanan bank tadi. Saya menceritakannya dengan format bercanda, soal kenapa saya gampang memaafkan petugas bank yang cantik itu. Ternyata posting itu dibaca oleh manajemen bank, entah bagian apa. Petugas bank tadi mendapat teguran, dan diminta kembali minta maaf pada saya.

Di lain waktu saya menulis soal petugas di bagian penjualan daging di supermarket yang enggan memotongkan daging yang saya beli. Tidak seperti toko daging lain yang biasa saya datangi. Tak lama kemudian ada pesan masuk dari manajer menyatakan permintaan maaf, dan meminta saya tidak segan lagi minta layanan pemotongan daging, karena pelayan toko akan melayani. Kata dia, sudah dialukan perbaikan berdasar keluhan saya.

Para manajer yang bertanggung jawab dengan urusan pelayanan kepada pelanggan harus sigap menangani berbagai perbincangan di media sosial soal produk mereka. Kenapa? Sebenarnya sebelum ada media sosial pun mereka sudah melakukan pemantauan terhadap suara konsumen. Berbagai perusahaan mengeluarkan biaya cukup banyak untuk melakukan survei terhadap kepuasan pelanggan. Sampai sekarang hal itu masih dilakukan. Selain itu mereka aktif meminta masukan, memantau media massa, mendengarkan dan menanggapi keluhan.

Tanggapan terhadap keluhan pelanggan memiliki sedikitnya 2 makna. Pertama, sebagai masukan untuk perbaikan dalam mutu produk dan pelayanan. Kedua, untuk memastikan keluhan itu tidak tersebar luas, sehingga menimbutkan citra yang buruk pada produk maupun perusahaan.

Yang terjadi di era media sosial adalah perbincangan bisa terjadi tanpa memerlukan kedekatan fisik antara orang-orang yang terlibat dalam perbincangan. Perbincangan bisa tersebar luar tanpa batas. Efek perbincangan itu bisa tanpa batas pula. Efeknya bisa positif, bisa pula negatif. Produk yang diperbincangkan secara positif akan mendapat keuntungan pencitraan yang sangat luas. Sebaliknya, yang diperbincangkan secara negatif akan mendapat kerugian yang luas pula.

Tapi apakah setiap perbincangan di media sosial berpotensi menyebar luas? Tidak. Sebagian besar perbincangan itu hanya akan tenggelam dalam lautan data digital yang maha luas. Tapi ada sebagian kecil yang akan menyebar luas. Yang mana? Persisnya kita tidak akan pernah tahu. Tak ada yang bisa memastikan mana yang akan viral dan mana yang tidak. Kita hanya bisa menghitung peluangnya saja. Perbincangan yang dimulai oleh orang yang punya banyak pengikut di media sosial berpotensi akan menyebar luas, lebih besar ketimbang pengguna yang tidak punya pengikut. Tapi itu hanya panduan umum. Ada banyak kasus komentar atau posting orang biasa yang juga tersebar luas. Tentu saja setelah melalui atau diteruskan oleh orang yang punya pengaruh.

Apa yang harus dilakukan oleh pebisnis? Lakukan pemantauan terhadap media sosial secara patut. Jangan menganggap remeh perbincangan di media sosial. Pemantauan secara patut artinya lakukan dengan proporsi yang tepat. Tidak perlu menghabiskan dana besar, tapi juga jangan sampai mengabaikan.

Poin terpenting dalam hal ini adalah pemberian tanggapan secara tepat, dalam arti menyelesaikan masalah. Bukan memberikan bantahan. Beberapa keluhan saya di media sosial ditanggapi dengan sigap, berupa pemberian solusi. Saat AC saya rusak, pemilik merek dagang segera mengirimkan tim untuk melakukan perbaikan. Demikian pula saat sambungan internet putus. Kuncinya adalah, pahami apa masalah konsumen, selesaikan. Jangan biarkan konsumen berlama-lama dalam keadaan tidak puas. Itu akan jadi pangkal keluhan viral, yang akan merusak citra produk dan perusahaan.

Hasanudin Abdurakhman
Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Fisika FMIPA UGM, kemudian melanjutkan studi di bidang Applied Physics di Tohoku University hingga selesai studi Doktoral. Meniti karir sebagai peneliti di Kumamoto University dan Tohoku University. Saat ini berkarir sebagai eksekutif perusahaan Jepang di Jakarta selama 13 tahun terakhir.