Cara Starbucks Membangun SDM

Artikel ini terakhir di perbaharui February 15, 2021 by Yoko Widito
Cara Starbucks Membangun SDM

Kopi? Starbucks. Bagi banyak orang kopi identik dengan merek dagang itu. Starbucks telah berhasil menjadikan dirinya identik dengan kopi. Ingat kopi, ingat Starbucks. Tapi bukan hanya itu. Kopi Starbucks tidak murah. Secangkir kopi harganya 50 ribu rupiah. Ajaibnya, banyak yang mau membeli.

Kenapa orang mau membayar 50 ribu untuk secangkir kopi di Starbucks? Gengsi. Ya, Starbucks sekarang tempat minum bergengsi. Sebagian orang mampir untuk membeli gengsi itu. Ironis memang, ada orang yang rela berhemat dalam soal lain demi bisa secara rutin untuk membeli kopi dan nongkrong di Starbucks.

Tapi berjualan gengsi saja tidak mungkin membuat Starbucks jadi besar. Terlebih saat kedai kopi ini batu mulai tumbuh dulu, tentu ia tak punya gengsi untuk dijual. Jadi, apa yang dilakukan Starbucks sehingga ia berbeda dari kedai kopi yang lain?

Saya bukan peminum kopi. Tapi sesekali saya pun mampir di Starbucks. Di situ saya tak memesan kopi. Pada dasarnya kopi bukan kebutuhan saya. Tapi kenapa mampir juga? Demi gengsi? Tidak. Starbucks memenuhi kebutuhan saya dalam hal tempat mampir. Starbuck menyediakan ruang yang nyaman untuk tempat menunggu, rapat santai, atau bekerja. Ketika sedang berada di suatu tempat, dan ada waktu cukup lama yang harus saya lalui, saya memilih untuk menunggu di Starbucks, lalu melakukan pekerjaan kecil seperti menulis, atau sekadar membaca. Starbucks adalah tempat yang cocok untuk kebutuhan itu.

Tapi kunci pentingnya bukan pada tempat, tapi pada pelayanan. Tempat yang bagus tidak akan membuat pelanggan betah kalau tidak disertai layanan yang baik. Di situlah keunggulan Starbucks.

“We are not in the coffee business serving people. We are in the people business serving coffee,” kata Howard Behar, mantan President di Starbucks. Maksudnya apa sih? Pusat kekuatan bisnis Starbucks bukan pada kopi, tapi pada pelayanan. Mereka menyediakan layanan prima yang membuat orang merasa nyaman berada di kedai itu.

Bagaimana hal itu bisa dicapai? Starbucks membangun metode layanan yang disebut LATTE method. Itu singkatan dari Listen to the costumer’, Acknowledge their complaint, Take action to solve the problem, Thank them, and Explain why the problem occured. Ringkasnya, manjakan pelanggan dengan layanan penuh kerendahan hati tanpa pamrih.

Sederhana? Tidak. Para pelayan di kedai-kedai makanan ringan biasanya adalah pekerja paruh waktu yang tidak terlalu tinggi motivasinya, bahkan orang-orang terbuang. Salah satu contohnya adalah Travis Leach. Ia dibesarkan oleh seorang ayah yang pecandu narkotika. Di umur 9 tahun ia sudah harus melihat ayahnya overdosis. Ia menjalani masa remaja sebagai korban bullying. Setengah putus asa ia bekerja di McDonald, dan hanya sebentar. Ia diberhentikan karena berlaku kasar pada tamu.

Starbucks tidak membiarkan orang seperti Travis bekerja di kedainya. Artinya, Starbucks tidak membiarkan mereka bekerja begitu saja, tanpa terlebih dulu melatihnya. Pelayan di Starbucks terlebih dahulu diberi pelatihan motivasi, agar tahan menghadapi keluhan para pelanggan. Apapun yang terjadi, mereka tetap harus menjalankan LATTE Method tadi.

Pelatihan Starbucks dilakukan berbasis pada riset panjang tentang “kemauan” atau “willpower”. Kemauan tadinya dianggap sebagai karakter bawaan. Tapi sejumlah psikolog telah melakukan berbagai riset dan menemukan bahwa “kemauan” adalah keterampilan yang bisa dilatihkan. Dari berbagai riset, ditemukan metode untuk melatih kemauan itu. Metode itulah yang dipakai Starbucks untuk membuat pelayan-pelayannya sabar dalam memberikan pelayanan terbaik.

Jadi, sebelum diterjunkan melayani pelanggan, para pelayan di Starbucks dilatih untuk sabar, sigap, dan telaten melayani pelanggan. Basisnya adalah membangun kebiasaan-kebiasaan positif. Dengan cara itu Starbucks berhasil membuat konsumen betah duduk di kedai mereka, dan rela membayar lebih mahal.

Saya sering mendengar keluhan dari pengusaha soal rendahnya kualitas sdm yang mereka dapat. Banyak pengusaha yang mengira sumber daya manusia berkualitas itu bisa didapat di pasar tenaga kerja. Ketika tidak mendapatkannya, mereka mengeluh. Strategi yang benar tidak demikian. Sumber daya manusia andal itu dibentuk melalui visi perusahaan. Berbasis pada visi itu diciptakan metode pelatihan untuk membentuk sumber daya manusia dengan karakter sesuai dengan yang diinginkan. Resepnya persis seperti yang disampaikan oleh pendiri Panasonic, Konosuke Matsushita, “Membesarkan perusahaan itu adalah membesarkan (mengembangkan) sumber daya manusia.”

Hasanudin Abdurakhman
Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Fisika FMIPA UGM, kemudian melanjutkan studi di bidang Applied Physics di Tohoku University hingga selesai studi Doktoral. Meniti karir sebagai peneliti di Kumamoto University dan Tohoku University. Saat ini berkarir sebagai eksekutif perusahaan Jepang di Jakarta selama 13 tahun terakhir.