Dalam bahasa Jepang kata “sake” punya 2 makna. Makna pertama, seluruh jenis minuman keras. Ini adalah makna umum. caperucita roja bebe caperucita roja bebe sacoche ordinateur hugo boss harvest frost skjorter askebeger for utendørs bruk rozmiary aviator ray ban shock plateau schoenen rozmiary aviator ray ban caperucita roja bebe caperucita roja bebe cep compression sokker ceramic plates and bowls caperucita roja bebe ceramic plates and bowls caperucita roja bebe Orang Jepang menyebut seluruh jenis minuman yang mengandung alkohol sebagai “sake”. Jadi kalau mereka mengatakan “minum sake”, artinya mereka minum minuman keras. Makna kedua adalah makna khusus, yaitu menunjuk ke suatu jenis minuman tradisional yang terbuat dari beras, dengan kadar alkohol sekitar 15%.
Ada 2 jenis minuman keras utama di Jepang, yaitu sake dan shochu. Shochu lebih tinggi kandungan alkoholnya, yaitu 25-30%, sehingga lebih keras daripada sake. Perbedaan mendasarnya adalah bahan baku. Sake terbuat dari beras. Sedangkan shochu ada banyak jenis bahan dasarnya. Bahan utama shochu ada 2, yaitu kentang (imo) dan gandum (mugi). Shochu yang terbuat dari beras juga ada, disebut “kome jochu”.
Perbedaan mendasar yang lain adalah soal kadar alkohol tadi. Ini terkait erat dengan proses pembuatan. Pada pembuatan shochu, setelah cairan beralkohol hasil fermentasi didapat, dilanjutkan dengan proses distilasi, proses memisahkan kadar air dari alkohol, untuk mendapatkan kadar alkohol yang lebih tinggi. Pada sake proses ini tidak dilakukan. Karena itu kadar alkohol shochu lebih tinggi.
Karena kadar alkoholnya berbeda, cara minumnya pun berbeda. Sake diminum langsung, baik dalam bentuk dingin maupun hangat. Sedangkan shochu biasa diminum dengan es, atau dicampur air dingin (mizu wari). Kadang shochu juga dicampur dengan teh.
Industri minuman keras adalah bisnis besar di Jepang. Nilai total pasarnya sekitar 3,5 triliun yen per tahun. 65% dari pasar itu didominasi oleh bir dengan segala variannya. Sisanya diisi oleh sake, shochu, wiski, dan anggur. Dari sisa 35% pasar non-bir itu sake menempati pangsa pasar sekitar 5%, dan shochu sekitar 7-8%.
Pangsa pasar minuman berdasarkan jenis ini berubah dari tahun ke tahun. Di era 70-an sake mengisi pangsa pasar sampai 30%. Situasi itu berlangsung sampai pertengajan dekade 90-an. Lalu terjadi peningkatan popularitas bir, yang mendesak pasar sake, ditambah peningkatan popularitas sochu, sehingga pangsa pasar sake jadi hanya sekitar 5% tadi.
Di Jepang saat ini ada sekitar 1.400 perusahaan produsen sake, dengan jumlah merek sekitar 10.000. Jumlah ini boleh dibilang sangat banyak. Namun sebenarnya sudah sangat menurun. Di tahun 40-an ada sekitar 7.000 perusahaan, dan di tahu. 90-an berkurang hingga menjadi 2.500 saja. Jumlah yang sekarang ada itu pun mungkin akan terus berkurang.
Ringkasnya, meski pasar minuman keras sangat besar, pasar sake, minuman tradisional Jepang, sangat kecil, dan makin menciut. Pasar itu harus diperebutkan oleh sekitar 10.000 merek tadi. Bagaimana memenangkannya? Bagaimana bisa menjadi menonjol di tengah pasar yang demikian ketat?
Salah satu merek sake yang menonjol di Jepang saat ini adalah “Dassai”. Merek ini diproduksi oleh perusahaan bernama Asahi Shuzo, yang berlokasi di Yamaguchi. Perusahaan ini didirikan tahun 1948, relatif muda dibandingkan berbagai perusahaan lain yang sudah berumur ratusan tahun. “Dassai” sendiri baru mulai dipasarkan sejak tahun 2000. Selama 20 tahun ini “Dassai” mencatatkan angka penjualan sebesar 13,8 milyar yen. Ini sebuah rekor yang cukup fantastis.
Bagaimana strategi pemasarannya? Di tengah 10 ribu merek sake, satu merek baru akan sulit melejit untuk jadi terkenal. Apalagi secara nasional. Sake biasanya digemari orang secara lokal. Orang Kyoto suka minum sake Kyoto, demikian pula orang Niigata menyukai sake Niigata. Jarang ada sake yang digemari orang di seluruh Jepang.
Di tengah situasi pasar yang sulit itu, pemilik Asahi Shuzo melakukan terobosan menarik. Ia membawa “Dassai” ke restoran-restoran Jepang di Paris dan New York. Ia perkenalkan di sana, ia pasarkan sampai merek itu menjadi pilihan utama di sana selama beberapa tahun. Kemudian ia bawa “Dassai” kembali ke Jepang, dengan tema atau tagline promosi sebagai “Sake yang paling populer di restoran-restoran Jepang” di Paris dan New York.
Usaha itu berhasil. “Dassai” menjadi market leader dalam bisnis sake di Jepang.
Branding adalah soal menciptakan citra produk. Citra kelas tinggi akan meningkatkan daya jual sekaligus nilai jual. Membuat perbedaan adalah kunci dalam branding. Di tengah belantara 10,000 merek, satu merek baru hanya akan jadi sebutir pasir di tengah padang pasir. Tak ada yang akan peduli padanya. Membawa “Dassai” ke Paris dan New York adalah cara cerdik untuk membuat perbedaan.
Tentu saja “Dassai” pun bukan apa-apa di pasar minuman keras Paris dan New York. Merek itu tak perlu menjadi raja di pasar umum di sana. Ia hanya perlu membuat citra yang tepat. Menjadi sake yang paling populer di restoran Jepang di Paris dan New York bukanlah hal yang sulit benar. Cara itulah yang ditempuh.
Namun harus diingat. Bagaimana pun hebatnya strategi marketing, ia hanya akan bekerja baik kalau produk yang dipasarkan memang bermutu. Dalam hal ini “Dassai” memang sudah unggul.