Korea dan Mental Penantang

Artikel ini terakhir di perbaharui November 23, 2020 by Yoko Widito
Korea dan Mental Penantang

Tahun 1995 ketika saya baru mulai bekerja, kalau saya mau membeli produk elektronika seperti TV atau kulkas, penjual di toko elektronik masih memprioritaskan produk Jepang. “Jangan pakai produk Korea, cepat rusak,” katanya. Tapi sekarang kita lihat produk-produk elektronik Korea membanjiri pasar dan dipakai banyak orang. Dalam hal HP, kita tidak menemukan produk Jepang yang bisa bersaing dengan produk-produk Korea.
Jepang dan Korea adalah 2 negara yang bertetangga. Mereka satu rumpun. Namun dalam sejarahnya, ada episode pedih yang sulit dilupakan oleh orang-orang Korea. Jepang menduduki Korea sejak 1910 melalui perang selama 1 tahun. Pendudukan berakhir setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II tahun 1945.

Selama pendudukan, Jepang melakukan hal-hal keji yang mengarah pada pemusnahan eksistensi Korea. Ada sekitar 100 ribu orang Jepang yang pindah dan menduduki tanah-tanah di Korea. Orang-orang Korea dipaksa mengganti nama mereka dengan nama Korea. Bahasa Korea tidak boleh dipergunakan.

Selama Perang Dunia II ada 725.000 orang Korea yang dipekerjakan di Jepang maupun di berbagai wilayah jajahan Jepang. Banyak juga warga Korea yang dipaksa jadi tentara Jepang, ditugaskan berperang di Asia Tenggara. Juga ada banyak perempuan yang dijadikan jugun ianfu, budak seks pemuas nafsu tentara Jepang.

Sejarah kelam itu membekas di benak orang-orang Korea, dan diturunkan ke generasi muda. Setiap generasi Korea sadar betul soal sejarah kelam itu. Berbeda dengan generasi muda Jepang yang tidak tahu banyak soal Perang Dunia II, karena sejarahnya ditutupi oleh pemerintah Jepang.

anak muda korea

Namun ada hal menarik yang saya perhatikan pada orang-orang Korea yang saya temui selama saya tinggal di Jepang. Banyak anak muda Korea yang belajar di Jepang. Di grup riset tempat saya belajar dulu ada sekitar 10 orang mahasiswa Korea. Mereka dikirim oleh perusahaan raksasa seperti LG dan Samsung. Ada juga yang  belajar dengan biaya mandiri. Jumlah mahasiswa asing asal Korea di Jepang nomor 2 terbesar setelah Cina.

Kehadiran orang-orang Korea di dunia akademik di Jepang tidak hanya dalam wujud mahasiswa, tapi juga periset. Banyak mahasiswa yang belajar tadi yang melanjutkan riset, sebagai assistant atau associate professor. Bahkan ada yang menjadi professor. Mereka memang cemerlang secara akademik, dan ulet dalam bekerja. Ada sangat banyak grup riset di Jepang yang dipimpin oleh profesor Jepang, dengan jajaran di bawahnya didominasi orang Korea.

Dari berbagai interaksi yang saya lihat, umumnya orang-orang Korea itu tidak memendam kebencian kepada Jepang. Yang mereka bangun adalah mental tidak mau kalah. Bagi orang Korea, mengalahkan Jepang dalam hal apa saja, adalah sebuah kebanggaan yang sangat tinggi nilainya. Dalam interaksi antara mahasiswa Korea dan Jepang suasana itu terlihat. Mereka punya kebanggan nasional yang tinggi, tapi tidak memendam kebencian.

“Mengalahkan Jepang” sepertinya menjadi semangat hidup orang Korea. Semangat itu tampaknya cukup dominan menjadi pendorong yang membawa Korea ke berbagai milestone kemajuan. Seoul menjadi tuan rumah Olimpiade 1988. Itu adalah salah satu milestone penting dalam sejarah Korea. Sejarah itu menjadi lebih penting lagi, karena Seoul terpilih dengan menyisihkan Hiroshima. Bagi orang Korea itu adalah kesuksesan ganda.

Korea dan Jepang bersaing ketat untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA tahun 2002. Para eksekutif FIFA dengan cerdik menengahi persaingan itu dengan menjadikan keduanya tuan rumah. Di turnamen itu tim Korea tampil dengan mental yang luar biasa masuk semifinal sebagai penantang yang cukup tangguh, sedangkan tim Jepang hanya sampai ke babak kedua. Lagi-lagi itu jadi kebanggaan luar biasa bagi orang Korea.

Sejarah kelam selama 35 tahun di awal abad XX membekas di benak orang-orang Korea. Tapi mereka dengan cerdas mengolah energi “dendam” itu. Mereka tidak membangun semangat kebencian. Mereka membangun semangat tidak mau kalah yang positif.

businessman

Orang-orang Korea belajar teknologi dari Jepang. Mereka juga berbisnis dengan orang-orang Jepang, memanfaatkan kapital dan teknologi. Lalu mereka mengambil alih teknologi dan bisnis.

Saya menyebut sikap orang Korea itu sebagai mental penantang. Orang-orang Korea menjadikan Jepang seperti orang yang sedang berlari di depan, dan mereka terobsesi untuk menyalipnya. Bagi orang yang sedang tertinggal, tidak ada jalan lain, kecuali bekerja beberapa kali lipat untuk bisa mengejar. Kalau mereka bekerja hanya sama kerasnya dengan orang yang sudah di depan, mereka akan selalu tertinggal.

Dalam bisnis mental penantang bisa ditumbuhkan dan dipelihara, seperti yang dilakukan orang-orang Korea. Pilih pemain besar yang sudah maju. Jadikan ia sebagai patokan pencapaian. Pelajari jalan suksesnya, tiru sebagian, adaptasi sebagian, untuk membangun formula strategi kita sendiri. Fokus mengerjakan strategi kita, dengan tetap memandang ke depan, ke sosok yang kita kejar. Jadikan kebesaran dia sebagai tantangan, sekaligus skala yang menakar besarnya mimpi kita.

Hasanudin Abdurakhman
Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Fisika FMIPA UGM, kemudian melanjutkan studi di bidang Applied Physics di Tohoku University hingga selesai studi Doktoral. Meniti karir sebagai peneliti di Kumamoto University dan Tohoku University. Saat ini berkarir sebagai eksekutif perusahaan Jepang di Jakarta selama 13 tahun terakhir.