Mengubah Krisis Jadi Bisnis

Artikel ini terakhir di perbaharui October 14, 2020 by Yoko Widito
Mengubah Krisis Jadi Bisnis

Indonesia akan membeli vaksin dari 3 perusahaan Cina, yaitu Cansino, Sinopharm, dan Sinovac. Ini bukan kesepakatan bisnis kecil. Pemerintah diberitakan menyediakan uang 36 triliun, hanya untuk uang muka pembelian vaksin ini. Ini adalah transaksi raksasa.

Orang yang percaya pada teori konspirasi akan dengan mudah menyimpulkan bahwa pandemi ini dirancang oleh Cina, untuk meraup keuntungan. Silakan kalau mau berspekulasi begitu. Saya tidak akan membantah dan membahasnya lebih lanjut. Tidak ada gunanya.

Perusahaan pembuat vaksin dan farmasi bukan satu-satunya yang meraup untung dari pandemi ini. Yang tidak kalah beruntungnya adalah perusahaan pembuat alat pelindung diri, beserta supply chain di belakang mereka. Sebelum pandemi ini, bisnis alat pelindung diri untuk penyakit menular adalah bisnis minor. Untuk memasarkan produk ini tenaga pemasar harus jungkir balik untuk sekadar mendapatkan pesanan dalam jumlah kecil. Begitu ada pandemi, produk ini laris selaris-larisnya.

vaksin corona

Sebenarnya bukan hanya bisnis baju pelindung dan masker yang meraup untuk. Produsen bahan non-woven secara umum meraup untung. Bahan utama alat pelindung diri (baju dan masker) adalah non-woven. Menariknya, perusahaan produsen non-woven yang tidak berbisnis dalam supply chain alat pelindung diri pun ikut meraup untung. Kenapa bisa? Banyak produsen non-woven yang tadinya memproduksi bahan untuk tujuan produk-produk amenity seperti popok bayi, dan pembalut wanita, karena pasar produk-produk ini memang besar. Ketika pasar tiba-tiba membutuhkan non-woven dalam jumlah besar karena kebutuhan alat pelindung diri yang melonjak, mereka beralih aplikasi. Pasar yang mereka tinggalkan diisi oleh perusahaan lain yang memilih untuk tetap bermain di pasar amenity. Pasar amenity sendiri tidak terlalu terpengaruh oleh pandemi.

Perusahaan penyedia jasa video conference Zoom juga meraup untung yang luar biasa. Saat ini ada sekitar 13 juta pengguna aktif aplikasi ini. Saat ini ada 300 juta peserta rapat yang menggunakan Zoom setiap hari. Padahal tadinya aplikasi ini terseok-seok dalam langkah untuk mendapatkan pengguna.

aplikasi zoom conference

Ada banyak lagi bisnis yang meraup untung besar karena pandemi ini, di tengah runtuhnya berbagai bisnis lain. Kita tidak akan membahas bisnis-bisnis itu satu per satu. Poinnya adalah, krisis dan bencana pun bisa menjadi peluang bisnis. Persis seperti gambaran orang Cina soal krisis itu sendiri. Orang Cina menulis kata krisis dengan 2 huruf kanji, yaitu 危機 dibaca “weiji”). Huruf pertama bermakna “bahaya”, sedangkan huruf kedua bermakna “kesempatan”. Orang Cina melihat krisis sebagai bahaya yang akan menenggelamkan banyak pihak, tapi sekaligus menyediakan kesempatan untuk tumbuh besar. Inilah yang sedang kita saksikan.

Kesempatan tentu saja tak datang mengetuk pintu rumah kita saat krisis. Kesempatan di tengah krisis bukanlah rezeki nomplok. Yang dapat meraih keuntungan di tengah krisis bukanlah bisnis ecek-ecek kelas makelar.

Tiga perusahaan produsen vaksin tadi adalah perusahaan berteknologi tinggi. Produk-produk mereka dihasilkan dari sebuah kegiatan yang tak banyak perusahaan bisa melakukannya, yaitu riset. Perusahaan pembuat non-woven pun demikian. Meski tampak sederhana, produksi bahan non-woven cukup rumit. Karena itu di Indonesia misalnya belum banyak perusahaan yang bisa bermain di bisnis ini. Demikian pula dengan perusahaan seperti Zoom. Ada teknologi penting yang mereka bangun.

Poin terpentingnya adalah, perusahaan yang bisa memanfaatkan momentum di tengah krisis adalah perusahaan yang memang sudah punya fondasi penting, yaitu produk mereka unggul. Tanpa produk yang unggul, krisis hanya akan jadi bahaya yang menenggelamkan. Produk-produk tadi bukan hasil dari krisis. Produk-produk tadi adalah hasil kerja keras pengembangan. Krisis hanya menyediakan panggung bagi mereka untuk tampil ke depan konsumen. Jadi kunci utama bisnis tetaplah pada penciptaan produk-produk yang unggul.

jeli melihat peluang

Poin berikutnya adalah kejelian melihat peluang dan keunggulan diri kita. Cina adalah tempat munculnya virus Covid19. Saat itu Cina adalah satu-satunya penderita krisis, ditonton oleh masyarakat dunia. Itu adalah unsur bahaya pada krisis yang dijelaskan tadi. Tapi pada saat yang sama, Cina punya keunggulan. Cina lah yang pertama punya virus untuk diisolasi. Ini adalah langkah awal dalam riset vaksin. Tidak hanya itu, Cina juga sudah belajar banyak soal virus corona sejak wabah SARS belasan tahun yang lalu. Tak heran bila perusahaan-perusahaan produsen vaksin Cina berada paling depan dalam perlombaan membuat vaksin Covid19. Menyadari keunggulan kita sendiri, termasuk saat kita berada dalam posisi sulit adalah emas berlian dalam bisnis.

Perusahaan produsen non-woven berbondong-bondong beralih ke supply chain produk alat pelindung diri, lalu perusahaan sejenis mengisi ceruk pasar yang mereka tinggalkan. Semua ini adalah hal yang sama, yaitu jeli melihat peluang. Demikian pula Zoom yang dengan cerdik memasarkan diri ketika krisis meletup.

Lalu, apakah kita perlu menunggu krisis untuk bisa mangggung? Atau perlu menciptakan krisis seperti yang dikhayalkan para penganut teori konspirasi? Tidak. Kesempatan sebenarnya sering muncul dalam berbagai situasi. Perusahaan produsen mie Jepang bernama Nissin sudah bertahun-tahun meluncurkan produk mie dalam kemasan mangkuk plastik (cup noodle), namun tak kunjung mendapatkan hasil penjualan yang bagus. Sampai suatu ketika, ada drama penyanderaan oleh Tentara Merah di tahun 80-an. Ketika itu polisi selama berhari-hari mengepung tempat penyanderaan. Manajemen Nissin membagikan cup noodle kepada para polisi yang sedang berjaga itu, dan selama berhari-hari gambar polisi sedang makan mie dalam kemasan mangkuk plastik itu ditayangkan di layar TV. Itu adalah iklan gratis bagi produk tersebut, dan menjadi pemicu meledaknya penjualannya.

Poinnya sebenarnya bukan menunggu krisis. Siapkan produk unggul, tentu saja dengan layanan unggul pula. Lalu carilah peluang untuk melambungkannya. Dalam krisis sekali pun terdapat peluang. Dalam keadaan bukan krisis pun peluang itu selalu ada. Itu rumusan dasarnya.

Hasanudin Abdurakhman
Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Fisika FMIPA UGM, kemudian melanjutkan studi di bidang Applied Physics di Tohoku University hingga selesai studi Doktoral. Meniti karir sebagai peneliti di Kumamoto University dan Tohoku University. Saat ini berkarir sebagai eksekutif perusahaan Jepang di Jakarta selama 13 tahun terakhir.