Pak Presiden, Ini bukan Soal Suka atau Benci

Artikel ini terakhir di perbaharui March 8, 2021 by Yoko Widito
Pak Presiden, Ini bukan Soal Suka atau Benci

Presiden Jokowi mencanangkan untuk tidak sekadar menyukai produk dalam negeri, tapi untuk membenci produk asing. Apa pasal? Mungkin Presiden resah pada kenyataan bahwa kita sangat tergantung pada barang-barang impor. Selama bertahun-tahun masa pemerintahannya, negara kita mengalami defisit neraca perdagangan, karena terlalu banyak impor. Presiden mencangkan ekonomi kreatif, bangga dengan munculnya start-up yang menjadi unicorn, termasuk dalam bidang e-commerce. Tapi ia harus melihat kenyataan pahit bahwa para unicorn tadi hanyalah penjaja produk-produk impor. Bagaimana mengerem semua itu?

Presiden menggunakan jurus benci dan cinta. Ia sangat sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Sejak zaman Soeharto sudah ada gerakan untuk cinta pada produk dalam negeri. Tapi tetap saja kita dibanjiri produk impor. Sadar bahwa jurus cinta tidak akan ada efeknya, Jokowi mengajak untuk benci produk impor. Ajakan Presiden itu menjadi kocak, karena dalam suasana pemberitaan soal ajakan untuk membenci produk asing, terselip berita tentang pemerintah membuka keran impor beras. Bagaimana kita bisa benci pada produk asing kalau yang kita makan sehari-hari saja adalah produk impor? Apakah kita harus membenci sepiring nasi berlaku tempe? Atau membenci semangkuk mi instan yang terigunya kita impor?

Pertanyaan besar yang harus kita jawab sebagai bangsa adalah kenapa kita mengimpor? Dalam banyak kasus jawabannya adalah karena produk dalam negeri tidak cukup. Beras, kedelai, daging sapi, dan sebagainya harus diimpor karena produk dalam negeri tidak cukup. Memang menyesakkan melihat negeri yang katanya agraris ini ternyata kekurangan pangan. Jangan lupa, Presiden Jokowi mencanangkan target swasembada pangan di periode pertama pemerintahannya. Kini periode kedua sudah berjalan, target itu entah bagaimana ceritanya sekarang.

Dalam hal produk-produk manufaktur pun situasinya mirip. Masalah kita adalah tidak tersedianya produk dalam jumlah memadai, atau harga dan mutunya kalah bersaing dengan produk impor. Produk-produk Cina bisa hadir di pasar kota dengan harga mencengangkan. Saya membeli remote control AC buatan Cina di toko online seharga 45 ribu rupiah. Sebagai pekerja di manufaktur saya mencoba berhitung, berapa harga pokok produksi barang ini di pabriknya di Cina sana? Kalau saya pakai parameter-parameter Indonesia, harganya jadi tak masuk akal. Maksudnya, kalau saya mencoba memproduksi barang yang sama di Karawang, misalnya, mustahil untuk bisa memproduksi dengan harga pokok tadi.

Apa masalah kita? Kita tidak menyiapkan diri untuk jadi negara industri manufaktur. Kunci industri manufaktur adalah rantai pasokan atau supply chain. Untuk membuat sebuah remote control tadi kita memerlukan komponen elektronik seperti dioda, resistor, IC, liquid crystal, ditambah resin (bijih plastik). Kenyataannya, kita tidak punya industri yang membuat itu di dalam negeri. Dari semua yang saya sebut itu setahu saya kita hanya punya resin, polupropylene. Itu pun jumlahnya tak cukup. Pasar polypropylene kita juga dibanjiri produk impor. Jadi, kalau pun kita cinta produk kita sendiri, mau membuat sendiri, kita tak bisa. Kita paksakan buat, harganya jauh lebih tinggi dari produk impor. Apakah kita harus membenci produk asing sampai kita harus membeli produk yang lebih mahal? Itu jelas tidak masuk akal.

Jadi, maaf saja, Presiden sedang mengeluarkan ajakan tak masuk akal. Padahal Presiden punya kekuasaan untuk bekerja dengan cara-cara yang masuk akal. Benahi infrastruktur industri. Bangun industri-industri dasar seperti kimia, logam, dan elektronika. Tanpa itu kita tidak bisa membangun industri manufaktur. Tidak hanya industri manufaktur. Agroindustri kita juga terbelakang. Apa yang pernah dilakukan Jokowi untuk membangun agroindustri? Saya kok jadi teringat pada menteri yang ia angkat lalu dicokok KPK karena kerja yang tak masuk akal: membuka keran ekspor bibit lobster.

Pak Presiden, keadaan ini adalah akibat berbagai langkah pembangunan yang Anda buat. Untuk memperbaikinya tidak cukup dengan benci atau cinta. Buatlah strategi kebijakan yang tepat dan jalankan sampai berhasil.

Hasanudin Abdurakhman
Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Fisika FMIPA UGM, kemudian melanjutkan studi di bidang Applied Physics di Tohoku University hingga selesai studi Doktoral. Meniti karir sebagai peneliti di Kumamoto University dan Tohoku University. Saat ini berkarir sebagai eksekutif perusahaan Jepang di Jakarta selama 13 tahun terakhir.