Plastik telah menjadi sumber masalah lingkungan di berbagai belahan dunia, khususnya di negara-negara berkembang. Sumber masalah utamanya adalah sifat plastik yang tidak mudah terurai menjadi senyawa-senyawa lain yang lebih sederhana. Akibatnya, benda-benda yang terbuat dari plastik tidak berubah bentuk selama puluhan tahun. Benda-benda itu mengotori berbagai tempat di permukaan bumi, di darat, sungai, dan lautan.
Kenapa kita memakai plastik? Bahan plastik memiliki banyak keunggulan teknis. Pertama, bahan ini dapat diproduksi dalam jumlah yang sangat besar. Berbahan baku minyak bumi yang diproduksi dalam skala yang luar biasa besar, plastik dapat diproduksi dalam skala yang tidak terbatas. Kedua, bahan ini tersedia dalam variasi yang luar biasa besar. Mulai dari plastik untuk keperluan sederhana seperti kemasan, hingga engineering plastics dengan sifat-sifat khas yang luar biasa. Ketiga, energi dan biaya pemrosesan yang rendah.
Plastik pada umumnya dapat diproses, dalam arti diberi bentuk sesuai keinginan, pada temperatur yang jauh lebih rendah dari bahan-bahan lain, sehingga proses produksinya menjadi produk akhir menjadi produk akhir sangat murah. Keempat, sifat-sifat mekanisnya yang ringan, lentur, dan sebagainya membuat proses produksinya menjadi jauh lebih mudah.
Semua keunggulan itu membuat plastik tak tertandingi oleh bahan-bahan lain. Industri terus berproses, mengganti berbagai komponen produk dari bahan asal seperti bahan organik, logam, kayu, serat, dan sebagainya, menjadi bahan berbasis plastik atau polimer.
Tantangannya adalah, bagaimana mengatasi dampak buruk plastik terhadap lingkungan. Sebenarnya masalah ini bukan masalah khas plastik. Bahan lain seperti logam dan gelas, misalnya, juga tidak mudah terurai. Plastik menjadi sorotan karena volum pemakaiannya yang sangat besar.
Kunci untuk mengatasi dampak negatif tadi sebenarnya sederhana. Selama benda-benda yang terbuat dari plastik tidak dibuang, maka tidak ada masalah. Plastik tidak mengotori lingkungan sampai ia menjadi sampah. Masalah sebenarnya bukan pada bahan plastik, tapi pada perilaku manusia yang membuang sampah plastik.
Bagaimana mengatasinya? Solusi jitunya adalah daur ulang, atau recycle. Kalau benda-benda yang terbuat dari plastik bisa diolah kembali lalu dipakai, maka tidak akan ada masalah. Rumusannya sederhana, tapi praktiknya tidak. Saat ini tingkat daur ulang plastik dunia baru 18%. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia angkanya jauh di bawah itu.
Tantangannya adalah bagaimana membuat daur ulang ini menjadi bisnis yang menguntungkan. Kalau tidak demikian daur ulang plastik hanya akan dianggap jadi kegiatan amal yang menjadi cost center, bukan profit center. Itu jelas bukan hal yang menarik untuk dilaksanakan.
Untuk mendaur ulang plastik, kita harus mengumpulkan bahan-bahan yang sejenis, agar bisa diolah lebih lanjut. Plastik dengan bahan berbeda-beda yang dicampur tidak akan bisa didaur ulang karena sifat-sifatnya yang berbeda-beda. Contohnya, botol kemasan minuman terdiri dari setidaknya 3 bahan yang berbeda, yaitu botol yang terbuat dari PET, tutup botol yang umumnya terbuat dari polypropylene, dan label yang terbuat dari polypropylene atau polyethylene. Dalam keadaan tercampur bahan-bahan tersebut tidak bisa diolah untuk didaur ulang. Jadi, pemilahan menjadi kunci.
Masalah plastik bermula dari perilaku manusia sebagai pemakainya. Dari situlah masalah harus diselesaikan. Pemakai harus berperan memilah plastik yang sudah selesai mereka pakai. Di Jepang, misalnya, sampah-sampah dipilah sejak dari rumah tangga. Sampah organik dipisahkan dari yang non-organik. Sampah non-organik dipilah lagi, berupa sampah kertas, plastik, dan kaleng. Waktu pembuangan sampah juga ditetapkan berbeda, sehingga ketika dikumpulkan sampah tidak bercampur. Dari situ barulah proses daur ulang bisa dimulai. Tanpa itu, proses daur ulang mustahil dilakukan.
Untuk situasi Indonesia pemilahan akan jadi masalah besar. Orang cenderung tidak akan melakukannya. Harus ada insentif yang menarik. Salah satu caranya, misalnya dengan memberi insentif pada pemilahan dan pengumpulan. Praktiknya, misalnya dengan memberi harga pada barang-barang yang dipilah dan dikumpulkan.
Ini sebenarnya bukan soal yang sulit benar. Sejak zaman dulu sebenarnya kita sudah terbiasa mengumpulkan koran bekas dan menjualnya. Hal yang sama sebenarnya bisa dilakukan untuk botol-botol minuman, atau plastik lembaran bekas kemasan. Kuncinya ada pada teknik menggerakkan orang.
Lagi-lagi contoh di Jepang. Di sana orang-orang mau mengumpulkan kemasan makanan dari styrofoam, untuk dibawa kembali ke supermarket saat mereka pergi belanja. Dari pengumpulan itu didapatkan imbalan sederhana. Receh? Mungkin.
Ada hal menarik pada perilaku ibu-ibu yang masih mendominasi kegiatan rumah tangga. Mereka mau “meneliti” harga-harga barang di supermarket, mencari selisih harga meski nilainya hanya 1-2 ribu rupiah. Saya kira ibu-ibu juga akan memperhitungkan insentif, meski nilainya kecil, bila dikelola secara terbuka dan adil. Bagian ini perlu dieksplorasi.
Kuncinya adalah bagaimana mengkomunikasikan 2 hal, yaitu insentif tadi, dan manfaat daur ulang dalam konteks yang lebih luas. Yang terakhir itu nyaris tidak kita lakukan. Kalau keduanya berhasil, memilah dan mengumpulkan plastik tidak akan jadi masalah yang sangat besar.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana menghasilkan laba. Pasar untuk menyerap plastik daur ulang perlu dibangun. Di bagian ini ada proses bisnis yang tidak mudah. Selain itu diperlukan dukungan regulasi pemerintah pula. Kemudian proses daur ulang berbiaya murah juga perlu dikembangkan.
Di berbagai negara bisnis daur ulang ini sudah terbukti menjadi bisnis yang menguntungkan. Di Indonesia pun sebenarnya sudah banyak contohnya. Soalnya adalah bagaimana membuat bisnis ini lebih luas skalanya, dan lebih besar labanya.
Ini sebenarnya tantangan menarik, mengingat pemain bisnis daur ulang belum begitu banyak, sehingga persaingan juga tidak terlalu ketat.