Siasat Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Artikel ini terakhir di perbaharui December 22, 2020 by Yoko Widito
Siasat Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Sebuah penelitian M.Chloe Murderig  (2013)  :“An Uncertain Future: Youth Frustation and The Arab Spring”. The Pardee Papers, menyebutkan, Arab spring bukan semata-mata terjadi karena aksi demokratik rakyat tapi juga menyangkut bencana ekonomi yang terjadi. Temuan ini menarik, karena peristiwa demonstrasi besar tersebut, membuktikan bahwa sebagian besar warga justru tidak mengetahui ideologi politik. Dari sini kita dapat belajar, ekonomi yang turun dan tidak mampu menyokong produktivitas masyarakat, bisa menyebabkan jatuhnya rezim.

Penelitian tersebut juga memaparkan, para pengunjuk rasa berada pada rentang usia 15-24 tahun. Generasi produktif muda tersebut mengalami frustasi atas kondisi yang mencemaskan bagi hidup mereka terkait dua kebutuhan dasar yaitu akses pekerjaan dan pendidikan yang berkualitas.

Setali tiga uang, Indonesia juga  tengah mengalami perubahan struktur kependudukan usia produktif, di mana usia produktif generasi muda  15- 34 tahun akan kian memuncak pada tahun 2030 yang di proyeksi mencapai 100 juta jiwa (Bappnenas, 2017). Tidak heran, kritik tajam dan berujung unjuk rasa, kebanyakan di inisiasi para generasi muda.

demonstrasi

Gejala tersebut terlihat belum lama ini, ketika para mahasiswa dan buruh mengkritisi RUU KPK dan berlanjut pada RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU  pemasyarakatan dan UU ITE berpasal karet yang rentan  di mamfaatkan penguasa membungkam kritik publik, menangkapi lawan politik dan para aktivis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Terakhir, tentu saja simpang siur RUU omnibus law cipta kerja.

Sekalipun, kritik tersebut bukan terutama perihal ekonomi, tapi bukan tidak mungkin melebar menjadi demontrasi tak berkesudahan dan akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Jika hal tersebut terjadi, bukan tidak mungkin, haluan demontrasipun akan mengarah pada isu ekonomi. Celakanya, global saat ini tengah di guncang pandemi. Resesi ekonomi bergejolak dan jika tidak lihai dan hati-hati, pemerintah akan terjerembab dalam hutang yang semakin besar . Belum lagi, politik kian memanas baru-baru ini. Karena itu, memang di butuhkan strategi yang komprehensif dan efektif agar ekonomi dapat melaju namun sekaligus fenomena bonus demografi juga optimal di mamfaatkan. Beberapa negara yang mengalami fenomena serupa justru mengalami middle income trap alias “jebakan pendapatan” karena kurang gesit memamfaatkan momentum bonus demografi. Ekonomi stagnan. Brasil dan Afrika selatan menjadi contoh gagalnya sebuah negara meningkatkan pertumbuhan ekonominya terkait surplus demografi tersebut. Indonesia agaknya juga terlihat gagap menangkap momentum bonus demografi, hal itu dapat di lihat pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan tidak beranjak dari 5 persen setiap tahun.

Profesor Fasli Jalal, Ph.D, yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), memaparkan, momentum bonus demografi lebih berbicara mengenai perlunya memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi lebih berkualitas sehingga tenaga kerja mampu di serap bursa kerja. Namun, bagai anomali, kedua hal terkait tersebut masih menjadi tantangan bagi bangsa kita, boleh di katakan pula, cenderung gagal memamfaatkan usia produktif muda , apalagi jika di kaitkan dengan tenaga kerja lulusan diploma (6,9 persen) dan sarjana (6,2 persen) justru lebih banyak menganggur pada tahun 2019, mendekati angka 900 ribu jiwa dari 6,82 juta jiwa. Makin runyam, berdasarkan pemaparan BPS Indonesia dari 136, 1 juta angkatan kerja, 58 persennya (79 juta jiwa) hanya berpendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Terlihat jelas kualitas pekerjaan tidak membaik,  karena itu policy maker masih harus cekatan memberikan solusi atraktif  agar SDM produktif gigantis layak kerja tersebut mampu memiliki daya saing mumpuni dalam bursa kerja.

Belum lagi, syarat lain dari optimalisasi bonus demografi juga terkait erat dengan pentingnya peran wanita untuk juga turut dalam dunia kerja. Jika peran wanita terakomodir dengan tepat, tentu saja jika hal itu terjadi , maka tabungan masyarakat akan kian bertumbuh, karena wanita yang telah bekerja dan berkeluarga akan cukup signifkan membantu income selain dari pemasukan suaminya sendiri.

Problem tersebut jika tidak segera teratasi , bukan tidak mungkin bonus demografi hanya sebagai istilah keren yang tidak bermamfaat apa-apa, gak ada isi .Karena itu, isu bonus demografi yang memiliki dinamika sosial besar harus di hadapi dengan progresif, karena gejolaknya sudah mulai terlihat dari indikator pengangguran dan porsi kekayaan tidak merata yang lebih di kuasai segelintir konglemerat. Pada tahun 2017, berdasarkan studi Credit Suisse, sekitar 84,30 persen, masyarakat Indonesia hanya memiliki kekayaan di bawah $10.000 !

Pertanyaan, rencana strategis apa yang dapat di lakukan kementerian terkait dalam menggenjot SDM berkualitas sekaligus memiliki daya saing ?

daya saing untuk tingkatkan pertumbuhan ekonomi indonesia

Pendidikan memang merupakan rencana strategis pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM, itu terlihat dari anggaran dalam beberapa tahun ini terlihat meningkat dari tahun ke tahun. Alokasi anggaran pendidikan memiliki postur anggaran terbesar di negara kita mencapai 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu sekitar Rp 492,5 triliun pada tahun 2019 dan meningkat menjadi Rp 505,8 triliun tahun depan. Tapi, sudah optimalkah anggaran pendidikan dalam menggenjot daya saing, khususnya menciptakan tenaga kerja kompeten dalam bursa kerja ?

Pada realitasnya, ternyata gagal.  Bercermin pada indikator pengangguran yang sebagian besar justru di huni oleh lulusan terdidik baik diploma dan sarjana. Ibaratnya masih jauh, panggang dari api. Tidak heran, skor indeks pendidikan Indonesia berdasarkan Programme for Internasional Students Assesment (PISA) kita masih kalah jauh dari negara Vietnam (22) dengan mengkomparasi anggaran pendidikan yang tidak beda jauh. Indonesia masih berada pada peringkat 67 dari 72 negara. Karena itu, di butuhkan solusi progresif serta terobosan dalam memecahkan kebuntuan bagi pengangguran terdidik sehingga mampu lebih beradaptasi dalam menghadapi dinamika perubahan zaman yang identik dengan inovasi teknologi sehingga lebih produktif dan memiliki daya saing mumpuni.

Jawabannya ada pada Balai Latihan Kerja (BLK). BLK mampu sebagai alternatif meningkatkan kompetensi karena ada sertifikasi dan siap di serap industri terkait. Hanya saja, pihak swasta perlu di dorong untuk bersinergi dan mendukung program pelatihan tersebut. Untuk itu, pemerintah perlu bercermin dari dua negara yang sangat sukses dan optimal dalam pelaksanaan program sehingga warga semakin produktif dan di label sebagai negara maju.

Pertama, negara Jerman yang mengatur siswa SMP dan SMA untuk mengikuti pelatihan yang di danai oleh industri terkait yang di miliki pemerintah, sehingga pemerintah hanya membiayai sekolah saja. Hebatnya, semua sistem pelatihan vokasi yang di bangun, pendanaanya 100 persen dari industri. Ini di sebut sistem pendidikan ganda. Pada praktiknya, siswa akan memiliki keahlian spesifik dan tentu saja dapat di terima industri karena memiliki sertifikasi.

Kedua, negara Korea Selatan. Negara Ginseng ini menggunakan undang-undang agar industri-perusahaan mau berbagi menyisihkan dari total persentase gaji yang di bayarkan untuk di konversi menjadi biaya pelatihan kerja, sehingga bukan saja pemerintah di bantu mengurangi pengangguran , namun juga secara progresif mampu lepas dari perangkap middle income trap.

tenaga kerja

Kedua solusi di atas terlihat lebih visibel bagi pemerintah saat ini daripada sekedar merubah kurikulum pendidikan. Menariknya, BLK menyebar di 34 propinsi, hanya tinggal perlu pengembangan dan penyesuaian kebutuhan industri. mengingat Korea saja membutuhkan 20 tahun mengubah sistem pendidikannya sehingga warganya mampu bersaing kompetitif di dunia internasional. Pemerintah kita akan sangat terlambat jika hanya ingin merubah sistem pendidikan tanpa ada pengembangan pendidikan vokasi yang terfokus, apalagi pada tahun 2017, sebuah riset dari Indonesia Career Center Network (ICCN) menyebutkan 87 persen mahasiswa memilih jurusan tidak sesuai dengan minat, dan ketika bekerjapun 71,7 persen, profesi tidak mencerminkan pendidikannya. Miris, bukan ?

Dengan menggenjot pelatihan vokasi dengan keahlian spesifik di seluruh Indonesia dan bersinergi dengan perusahaan serta dukungan industri terkait, bukan tidak mungkin Indonesia tidak akan sekedar lolos dari jebakan pendapatan kelas menengah tapi juga mampu memiliki tenaga kerja kompetitif berkelas dunia. Kita berharap, daya ungkit bonus demografi mampu menciptakan produktivitas lebih besar karena usia produktif tersebut mencapai 190 juta jiwa nantinya di tahun 2030 dan tentu saja dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.

Namun, mulai dari sekarang para policy maker harus bergegas dan cepat mengeksekusi program tersebut, karena bukan tidak mungkin bangsa ini hanya menjadi hamba bagi negara lain alias sekedar pasar “seksi” karena populasi besar namun tidak kompeten menghadapi sengitnya persaingan bursa kerja dan tantangan turbulensi ekonomi global yang kian tidak pasti.Amat Victoria Curam. Kemenangan membutuhkan perencanaan.

Bery M.
Menulis di berbagai media daring nasional dan daerah mengenai isu sektoral, demografi, startup dan sosial. Saat ini menggeluti dunia pemasaran, khususnya branding, dan belakangan sedang mengembangkan beberapa Aplikasi.