Selama puluhan tahun Toyota menjadi raja otomotif dunia. Tapi kini muncul pesaing baru, Tesla. Tahun 2019 Toyota menjual 10,46 juta mobil dengan nilai penjualan 281 milyar dolar. Di tahun yang sama Tesla menjual 367,200 mobil dengan nilai 24,6 milyar dolar. Lho, masih jauh lebih banyak Toyota, kok. Kenapa Tesla jadi sorotan sebagai perusahaan yang bisa menyaingi Toyota?
Kehebohannya ada pada nilai pasar atau market value. Apa itu? Sederhananya, nilai 1 unit saham dikalikan dengan jumlah seluruh saham yang diperjualbelikan. Nilai pasar Toyota adalah 174 miliar dolar, sedangkan Tesla adalah 774 miliar. Kenapa bisa berselisih demikian jauh? Nilai pasar adalah nilai yang diberikan oleh para investor atau pembeli saham. Nilai ini berbeda dengan nilai buku. Nilai buku adalah nilai aset dan liabilitas perusahaan yang tercantum dalam balance sheet. Artinya, itu nilai “nyata” perusahaan. Sedangkan nilai pasar adalah nilai “psikologis”. Pada nilai ini tentu ada pengaruh nilai buku. Tapi harapan pembeli saham untuk memperoleh keuntungan dari jual beli saham berpengaruh sangat besar. Artinya, bagi para investor (termasuk spekulan saham), Tesla jauh lebih menarik untuk diperdagangkan ketimbang Toyota.
Yang menarik untuk dibandingkan bukan hanya soal-soal finansial, tapi juga sejarah dan budaya inovasi perusahaan. Toyota sebenarnya tidak lahir sebagai perusahaan otomotif. Perusahaan ini berdiri sebagai produsen mesin tenun, yang sampai sekarang bisnis di bidang itu masih bertahan. Tahun 1936 perusahaan ini mulai memproduksi mobil, lalu tahun berikutnya divisi otomotif ini melepaskan diri dari induknya.
Toyota memproduksi mobil dengan meniru mobil Ford. Saat saya berkunjung ke Toyota Museum di Nagoya pemandu museum bercerita bahwa perusahaan itu membeli mobil dari Amerika kemudian mempreteli mobil itu agar bisa ditiru. Dari sisi ini boleh dibilang bahwa Toyota memulai bisnisnya dari gaya orang bengkel. Di sisi lain latar belakang Toyota yang beranjak dari bisnis mesin tekstil tadi juga berpengaruh. Sebagai produsen mesin tenun Toyota sudah membuat sistem produksi yang rapi, dengan konsep “jidoka”. Di kemudian hari Toyota mengembangkan sistem yang lebih efisien, memakai prinsip-prinsip kaizen, sehingga melahirkan sistem produksi unggul, dengan konsep “just in time”, “7 wastes” dan sebagainya. Sistem ini banyak diadopsi di berbagai industri manufaktur.
Sistem produksi Toyota mencerminkan karakter orang Jepang yang disiplin dan teliti pada hal-hal detil. Tidak hanya itu, orang Jepang sangat berhati-hati. Mereka cenderung ingin segala sesuatu dipastikan dengan teliti sebelum dijalankan. Sistemnya terdiri dari sebuah rencana detil, dieksekusi, kemudian diperbaiki secara terus menerus, sampai pada hal-hal detil.
Tesla lahir di zaman yang jauh berbeda dengan Toyota. Tempat lahirnya pun berbeda. Tesla adalah perusahaan Silicon Valley, teknologi tinggi merupakan tulang punggungnya. Penggeraknya pun anak-anak muda yang jemarinya sangat mahir menari di atas keyboard komputer. Berbeda dengan orang-orang bengkel yang membangun Toyota tadi. Selain berbeda dari sisi teknologi, Tesla tentu saja berbeda pula dari gaya kerja. Gaya mereka dinamis, cepat, dan out of the box. Tidak seperti Toyota yang serba ingin memastikan segala sesuatu sebelum bertindak, di Tesla prinsipnya jalankan dulu, nanti perbaikan bisa disusulkan. Karakter itu muncul dari sifat alami lingkungan bisnis Tesla. Mereka adalah pencipta teknologi. Kalau lambat, teknologi akan diklaim dulu oleh pihak lain.
Banyak analisis yang membandingkan keduanya, lalu meramal masa depan keduanya. Ada yang berpendapat bahwa Toyota sudah ketinggalan zaman. Benarkah? Sulit untuk menegaskannya saat ini. Waktulah yang kelak akan membuktikannya.