“Utsurundesu”: Kisah Inspiratif Pengembangan Produk

Artikel ini terakhir di perbaharui October 26, 2020 by Yoko Widito
“Utsurundesu”: Kisah Inspiratif Pengembangan Produk

Di masa sebelum adanya kamera digital, kita semua memakai kamera film. Film sebenarnya istilah untuk menyebut benda atau material yang tipis. Dalam riset dan industri semikonduktor, pembuatan film tipis (thin film) dari bahan semikonduktor adalah teknik penting untuk membuat piranti elektronik. Dalam hal fotografi, film adalah lembaran tipis yang dilapisi dengan bahan peka cahaya. Ketika bahan ini terkena cahaya dari bayangan objek tertentu, bayangan tersebut akan tercetak di permukaan film. Dengan film itu kita mencetak foto. Dengan teknik serupa bisa dihasilkan gambar bergerak. Gambar bergerak dibuat dari gambar-gambar dalam jumlah banyak yang ditampilkan berurutan. Kita menyebutnya dengan istilah “film”. Mungkin karena gambar bergerak itu dihasilkan dari bayangan yang terbentuk di atas film tadi.

Kamera foto bekerja dengan prinsip yang mirip dengan mata kita. Komponen terdepan sebuah kamera adalah lensa yang berfungsi untuk menangkap cahaya yang dipantulkan oleh sebuah objek. Cahaya yang ditangkap itu dikumpulkan di sebuah layar (mirip dengan fungsi retina pada mata kita). Di posisi itulah dipasang film tadi. Di belakang lensa ada “shutter” yang mencegah cahaya dari lensa masuk ke layer/film. Shutter hanya dibuka saat pemotretan berlangsung, yang waktunya kurang dari satu detik.

Kamera berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi rumit. Awalnya sebuah kamera hanya berupa kotak yang diberi lubang. Kemudian kamera dibuat canggih dengan berbagai jenis lensa, yang memungkinkan orang memotret benda jauh, benda yang sangat kecil, atau objek yang sangat lebar. Kemudian kamera yang tadinya digerakkan oleh mekanika manual, digerakkan secara elektronik, dengan kontrol gerakan yang sangat teliti. Kamera bisa menjadi barang yang canggih dan mahal.

Tidak semua orang butuh kamera yang canggih dan mahal. Faktanya, jauh lebih banyak orang yang hanya butuh kamera sederhana dan murah. Maka perusahaan produsen kamera mengembangkan kamera sederhana, yang harganya murah. Lalu pengembangan bergerak ke titik ekstrim, yaitu kamera yang bisa dibuang setelah dipakai sekali. Sebuah kamera sekali pakai. Gagasan ini cemerlang, karena mengubah persepsi orang soal kamera yang canggih dan mahal tadi.

Dengan kamera sekali pakai ini setiap orang jadi bisa memotret, tanpa perlu pusing soal kamera. Ya, selain harganya murah, kamera ini juga sangat mudah dipakai. Pengguna tidak perlu memasang film, juga tak perlu melepasnya saat pemotretan selesai. Ia hanya perlu membeli, lalu langsung memakainya. Cara pemakaian pun sangat sederhana, cukup dengan mengarahkan lensa kamera dan memencet sebuah tombol. Usai memotret, kamera diserahkan ke tempat mencetak foto. Pengguna nanti menerima hasil cetak Bersama negatif photo tadi.

Konsepnya sebenarnya sederhana, yaitu mengembalikan kamera ke konsep awalnya yang sederhana tadi. Poin pengembangan adalah menempatkan lensa kecil di depan film, memberi shutter di antara keduanya. Tantangannya adalah bagaimana membuat film berukuran kecil, lensa sederhana, dan shutter yang sederhana pula, kemudian dibungkus dengan casing yang sederhana. Semua itu kalau digabungkan harus menjadi sebuah produk yang berfungsi, yaitu bisa dipakai untuk memotret, dan harganya murah. Harga di pasaran hanya 300 yen, atau sekitar 30 ribu rupiah, pada masa itu.

kamera quick snap fuji

Fuji Color adalah perusahaan produsen film dari Jepang. Perusahaan ini tak hanya mendominasi penjualan film di Jepang, tapi seluruh dunia. Pada masa itu tak banyak produsen film yang sukses bersaing di pasar global. Selain Fuji Color ada Kodak. Di luar itu ada beberapa perusahaan yang penjualannya tak terlalu besar.

Selain membuat film, Fuji juga membuat kamera saku. Inilah pangkal munculnya gagasan pengembangan produk kamera sekali pakai tadi. Prinsipnya membuat kamera yang harganya terjangkau oleh siapapun, dan bisa dipakai oleh siapapun. Bisa dipakai kapan pun dan di mana pun.

Pengembangan produk ini dilakukan di Fuji Film tahun 1986, melalui sebuah tim yang dinamankan “LF Team”. LF adalah singkatan dari lense film. Anggota tim adalah karyawan di berbagai departemen, mereka tetap bekerja melaksanakan tugas rutin, tidak berkonsetrasi hanya mengerjakan projek ini saja.

Pengembangan terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu film, lensa, shutter, aperture, body, dan kemasan. Ditambah lagi dengan pencitraan produk, yaitu nama produk. Pengembangan film adalah kompetensi inti Fuji Film. Mereka punya banyak pilihan dan feksibilitas dalam soal ini. Untuk lensa, dipakai teknologi yang memang sedang booming saat itu, yaitu plastik. Dengan plastik dapat dihasilkan lensa yang proses pembuatannya sangat mudah dan murah.

Ada lebih dari 100 nama yang diusulkan untuk brand produk ini. Yang akhirnya dipakai adalah “utsurundesu”. “Utsuru” dalam bahasa Jepang adalah ungkapan yang dipakai untuk menjelaskan terbentuknya gambar. Khusus dalam soal pemotretan, artinya adalah gambar terpotret, atau berhasil dipotret. “Utsurundesu” adalah ungkapan dengan penekanan bahwa benda ini bisa dipakai untuk memotret. Menurut cerita, saat purwarupa barang ini ditunjukkan ke manajemen, mereka tidak yakin. “Utsurundesuka?” tanya mereka. Emang itu bisa dipakai untuk memotret. Para pengembangnya menjawab: utsurundesu!

Ketika produk ini dihadirkan di pasar, para calon pembeli akan bertanya soal yang sama. Apa benar bisa dipakai untuk memotret? Bisa. Utsurundesu. Ketika hasil foto didapatkan, konsumen menjadi sangat terkesan. Produk yang tampak sangat sederhana, terjadi bisa memotret. Utsurundesu!

Produk ini meledak di pasaran. Penjualan per tahun mendekati angka 90 juta unit. Selama 20 tahun produk ini menjadi andalan utama bagi bisnis Fuji Film. Selama akhir decade 80-an, hingga pertengahan decade 2000-an, produk ini merajai pasar. Penjualannya baru menurun ketika kamera digital menjadi semakin murah, dan HP pun dilengkapi dengan kamera. Kini, meski dalam jumlah kecil, “Utsurundesu” masih terus diproduksi dan dijual.

Apa kunci keberhasilan “Utsurundesu” ini? Pertama, karena ia memenuhi prinsip paling dasar, yaitu produk yang dibutuhkan banyak orang dibuat dalam format yang terjangkau harganya, dan bisa dipakai oleh setiap orang. Kalau setiap orang membeli, meski harganya murah, nilai penjualan akan sangat besar. Kedua, produk ini dikembangkan berbasis pada kompetensi utama perusahaan, yaitu film. Untuk sukses, peganglah 2 kunci itu. Gunakan kompetensi utama perusahaan untuk membuat produk yang dibutuhkan dan terjangkau bagi semua orang.

Tapi ingat. Betapa pun suksesnya, sebuah produk akan mencapai masa surutnya. Karena itu pengembangan tidak boleh berhenti. Lakukan pengembangan produk baru setiap saat, secara berkelanjutan.

Hasanudin Abdurakhman
Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Fisika FMIPA UGM, kemudian melanjutkan studi di bidang Applied Physics di Tohoku University hingga selesai studi Doktoral. Meniti karir sebagai peneliti di Kumamoto University dan Tohoku University. Saat ini berkarir sebagai eksekutif perusahaan Jepang di Jakarta selama 13 tahun terakhir.