Mulai Membuat Konten Dengan Engagement Tinggi

Artikel ini terakhir di perbaharui March 8, 2024 by Yoko Widito
Mulai Membuat Konten Dengan Engagement Tinggi

Siapa sih yang nggak mau engagement? Bahkan banyak kantor yang menuntut social media marketernya untuk membuat konten yang tinggi engagement, terlepas dari menghasilkan duit atau enggak alias “yang penting viral”. Yang jelas, apapun tujuannya tentu anda bertanya “bagaimana membuat konten dengan engagement yang tinggi?”

Kenapa Orang Engage dengan Konten?

Sebelum kita masuk lebih dalam, kita harus memahami dulu alasan mengapa orang berinteraksi atau engage dengan sebuah konten. Apa yang membuat orang begitu tertariknya dengan sebuah konten?

Satu kata: Relatable

Sebagus apapun talent anda, sekeren apapun sosmed marketer-nya, segila apapun design visualnya, tidak akan menghasilkan engagement jika tidak relate dengan audience.

Sebagai contoh yang paling simpel. Anda kemari untuk membaca konten digital marketing, bukan? Bagaimana kalau kemudian saya menulis konten dengan topik mobil? Apakah anda masih mau mengunjungi blog ini?

Dan tentu saja menjadi ralatable bukan hanya semata-mata membahas topik yang sama dengan apa yang ada di pasar. Ada banyak sekali faktor yang berperan di dalam sebuah kesuksesan konten.

Menguasai Kemauan Pasar = Engagement Ada di Tangan

Memahami pasar? Emang kita jualan?

Oh iya dong. Kalau mengejar engagement artinya kita menjual konten, menjual cerita, menjual rangkaian visual yang menunjukan suatu value. Membuat konten tanpa memahami isinya tidak akan bisa mendapatkan engagement apapun.

Engagement Dari Twitter
Engagement di Twitter

Ketahui format paling efektif

Kita tahu bahwa di dalam social media, ada banyak sekali format konten yang bisa dibuat. Instagram saja contohnya memiliki 5 jenis format konten:

  • Story
  • Feed Single
  • Feed carousel
  • Reels
  • Video (dulunya IGTV)

Semua format ini memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Reels sendiri misalnya, memiliki keunggulan untuk bisa tayang di halaman khusus reels yang sifatnya seperti FYP TikTok, namun membuat video reels diperlukan skill tersendiri.

Lalu kita coba pindah ke social media lain, seperti Twitter. Twitter memiliki setidaknya 3 jenis format:

  • Thread
  • Foto
  • Video

Sama juga, setiap format konten memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Dengan memahami format mana yang sesuai, maka anda bisa mendapatkan engagement yang lebih tinggi.

Contohnya, konten yang serius dengan akurasi pembahasan yang kompleks akan lebih baik disampaikan dengan menggunakan carousel dibandingkan dengan menggunakan reels. Konten lucu yang bikin ngakak lebih efektif disampaikan dengan reels karena visualnya lebih berdampak ke emosi audience

Karena format sangat penting, jangan lupa untuk menambahkannya ke dalam Editorial Plan (apabila ada).

Sesuaikan bahasa pembawaan

Bahasa pembawaan juga memegang peran krusial.

Anda tentu pernah membaca konten dengan topik yang sama, namun gaya pembawaannya berbeda. Dan itu memberikan anda feel yang berbeda juga dari masing-masing konten.

Twitter vs LinkedIn

“Feel” inilah yang dikejar dari sebuah bahasa pembawaan. Anda bisa bereksperimen dengan bahasa bernada senang, menyindir, marah, netral, berpihak, dan sebagainya.

Saya sendiri beberapa kali melakukan eksperimen Twitter vs LinkedIn. Di twitter, bahasa yang menyindir ternyata lebih laku daripada hanya sekadar pengetahuan. Menggunakan sudut pandang boss juga ternyata lebih laku dibandingkan dengan sudut pandang karyawan.

Sedangkan di LinkedIn saya lebih banyak menggunakan sudut pandang netral, seperti membahas practical steps atau storytelling pengalaman pribadi. Engagement lebih banyak untuk konten-konten yang menggunakan konsep itu.

Anda bisa menggunakan kombinasi sudut pandang dalam 1 konten. Namun alurnya perlu diperhatikan agar tidak membuat audience bingung

Selain sudut pandang, plot juga memainkan peran yang besar dalam engagement.

Secara umum, plot dibagi menjadi 2 jenis: plot maju dan plot mundur

Pemula biasanya memiliki kecenderungan untuk menggunakan plot maju, karena mereka merasa bahwa konten harus diceritakan dari awal ke akhir. Padahal nyatanya, plot mundur lebih laku di konten.

Kenapa? Karena plot mundur mengatakan masalah langsung di detik pertama konten.

Alur Mundur

Jika konten tersebut menggunakan konsep plot maju, misalnya saya mengganti pertanyaannya menjadi “Apa Tanda-Tanda Salah Hire?” mungkin tidak akan mendapatkan engagement sebanyak itu, karena yang nyantol juga lebih sedikit.

Pilih channel yang sesuai

Setiap channel memiliki profil audience yang berbeda-beda, berdasarkan dari list fitur yang disediakan sejak pertama kali social media tersebut dirilis. Facebook misalnya, memiliki spesialisasi di interaksi komunitas & grup atau LinkedIn yang memiliki spesialisasi di interaksi antar pekerja & professional.

Jangan menayangkan konten di channel yang tidak sesuai. Misalnya membuat konten short video vertical di LinkedIn tentu tidak akan ada gunanya.

Apakah tips-tips di sini berguna untuk semua channel?

Pada dasarnya perilaku user itu sama di semua channel. Mereka mau konten yang memberikan value kepada diri mereka, dan value ini wujudnya macam-macam. Ada hiburan, pengetahuan, drama, konflik, pengakuan/afirmasi, kontroversi, dan sebagainya.

Value yang dihasilkan sebuah konten tidak boleh self proclaim. Misalnya mengatakan “user bisa melihat produk kita” sebagai value konten adalah salah satu bentuk self proclaim. Kalau caranya begini, ya mending anda saja yang ngeliat sosmed anda sendiri, jangan ajak-ajak orang.

Kenali cara kerja algoritmanya

Setiap sosmed memiliki konfigurasi algoritma yang cukup unik. Algoritma ini akan mempengaruhi bagaimana platform menampilkan konten kepada pengguna mereka.

Namun meskipun konfigurasinya unik, semua sosmed menampilkan konten berdasarkan aktivitas dan ketertarikan pengguna. Misalnya kalau saya tertarik pada anime, maka saya akan mendapatkan konten yang berhubungan dengan topik anime.

Berikut beberapa contoh konfigruasi algoritma dari beberapa channel social media:

  • YouTube, menggunakan “reccomended for you” untuk menampilkan video ke audience baru
  • LinkedIn, menggunakan like, share, & comment untuk menampilkan konten ke orang yang terkoneksi dengan pemberi interaksi
  • Instagram, menggunakan explore untuk menayangkan konten ke audience baru. Explore dihimpun berdasarkan total engagement + relevansi
  • TikTok, menggunakan FYP atau For You Page untuk menampilkan video ke audience baru. FYP ini sifatnya default
  • Twitter, menggunakan receiving new likes/comment atau dengan followers juga menyukai ini untuk menayangkan konten ke audience baru

Sekilas memang terlihat rumit dan berbeda-beda. Namun nyatanya masing-masing channel sosmed menggunakan data interaksi dan kebiasaan untuk menayangkan konten-konten ke audience baru. Toh pada dasarnya platform sosmed itu mau agar penggunanya bertahan lama di platform mereka.

Be consistent

Tidak ada orang yang mau engage dengan akun yang kontennya nggak jelas.

Konsisten disini bukan hanya rutin membuat konten, tapi juga konsisten terhadap topik yang dibahas.

Percuma tiap hari posting tapi topiknya nggak jelas.

Contohnya mudah saja. bagaimana kalau tiba-tiba saya menulis konten tentang otomotif di Blog ini?

Tentu saja anda sebagai pembaca setia juga males untuk membuka blog ini, bukan? Lalu bayangkan lagi jika inkonsistensi itu saya lanjutkan sampai 3 bulan. Apa yang anda lakukan?

Bayangkan lagi kalau saya lanjutkan sampai 1 tahun, saya terus membuat konten yang tidak jelas expertise-nya hanya karena semata-mata ingin mendapatkan audience baru.

Tentu sudah bisa ditebak akhirnya. Anda males baca blog ini, dan itu juga berlaku untuk pembaca setia lainnya.

Bagaimana dengan pembaca baru yang didapat? Tentu tidak akan begitu berefek, karena saya toh juga tidak membuat konten yang konsisten untuk mempertahankan mereka.

Hal ini juga berlaku di dunia sosial media. Apalagi, konten sosial media terbaca karena anda mengikuti dan berinteraksi dengan konten tersebut. Semakin jarang anda berinteraksi, maka semakin sedikit kemungkinan konten akan muncul di timeline anda. Otomatis algoritma akan membaca kalau anda tidak tertarik dengan akun tersebut, dan prioritas penayangan konten akan diturunkan.

Sekarang bayangkan kalau ada 1000 orang yang sama, atau mungkin 100 ribu orang? Bubar lama-lama akunnya.

Habis Engagement, Lalu Apa?

Mengejar engagement memang berada di top funnel, setelah itu apa? Bagaimana pun bisnis tidak akan hidup hanya dari engagement, dan tetap akan butuh revenue dari marketing channel yang digunakan. Ingat, membuat konten itu tidak “gratis” secara harafiah. Memang tidak ada ads cost seperti yang kita lakukan pada Google Ads maupun Meta Ads.

Namun tetap ada biaya produksi, setidaknya 1 orang social media strategist + 1 orang graphic designer.

Jadi tentu saja anda tidak boleh berpuas diri ketika sudah mendapatkan engagement besar. Artinya, anda tetap perlu memikirkan bagaimana engagement tersebut bisa relevan dengan strategi conversion yang ada.

Maksudnya bagaimana?

Misalnya anda sudah menguasai teknik konten di dunia digital marketing agency, tentu jangan berhenti sampai di sana saja.

Konten yang anda buat di kemudian hari harus bisa drive orang-orang yang sudah percaya kepada akun anda untuk menjadi prospek anda. Dan kemudian anda perlu mengolah prospek tersebut dengan sales enablement seperti konsultasi, checklist, dan sejenisnya.

Tentunya dengan konten yang engagement-nya bagus, seharusnya ini bukan masalah besar.

Dwinandha Legawa
Digital Marketer focused on Digital Ads since 2019 and He has continuously spread awareness about how Digital Advertising should work for everyone's businesses, also loved to debunk misleading myths, which specialized in Facebook and Google Ads.