Abundant Mentality vs Scarcity Mentality

Artikel ini terakhir di perbaharui February 28, 2022 by Yoko Widito
Abundant Mentality vs Scarcity Mentality

Abundant artinya berlimpah. Lalu, apa arti abundant mentality? Abundant mentality adalah cara berpikir yang luas, yang membuka berbagai kemungkinan solusi, tidak terpaku pada satu-dua solusi saja.

Ini soal paradigma. Banyak orang yang terpaku pada satu solusi. “Biasanya juga begini.” Itu salah satu pangkal mental tidak kreatif (scarcity). Ditambah dengan prejudice, cepat menghakimi, cepat menyimpulkan.

Dalam suatu ceramah di sebuah lembaga pemerintah saya mendapat pertanyaan yang isinya keluhan soal pegawai-pegawai yang sudah mau pensiun. Mereka sulit diajak kreatif dan kerja keras, keluh si penanya. Ini bukan pertanyaan baru sebenarnya. Dalam diskusi lain, di instansi yang sama, tapi di wilayah yang berbeda, keluhan yang sama muncul juga.

Apa artinya? Kejadian itu nyata, yaitu adanya orang-orang calon pensiunan yang sudah malas bekerja, tidak ada lagi semangat melakukan pengembangan. Mereka jelas orang-orang yang mengidap scarcity mentality. Tapi para pengeluh juga sama saja. Mereka juga tidak kreatif, tidak memakai sudut pandang yang luas dalam melihat persoalan. Segera saja mereka menyimpulkan bahwa orang-orang itu menjadi tidak kreatif karena mereka sudah mau pensiun, dan tidak ada yang bisa dilakukan terhadap mereka.

Jawaban saya terhadap keluhan itu adalah, pernahkah dilakukan kajian yang lebih dalam? Tidak. Faktor umur dan pendeknya sisa masa tugas jelas berperan. Tapi tidak adakah faktor lain? Saya tidak tahu pasti. Masalahnya, yang seharusnya menangani tidak mencari tahu. Mereka sudah yakin dengan kesimpulan umum bahwa “orang-orang tua memang begitu”.

Scarcity mentality berawal dari keengganan untuk menggali informasi lebih dalam. Masalah dilihat dari sudut pandang yang sempit. Otomatis solusi yang dihasilkan juga sempit. Agar bisa berpikir secara abundant, kita harus membuka pikiran dengan melihat ke berbagai aspek.

Salah satu cara untuk melihat secara luas adalah dengan brainstorming. Dalam brainstorming semua orang diminta bicara bebas, tanpa perlu difilter apakah kualitas pembicaraannya bermutu atau tidak. Tidak perlu ada diskusi dulu. Pokoknya dengar saja semua. Dengan cara itu, segala kemungkinan, termasuk kemungkinan paling tolol pun kita buka.

Kalau Anda sedang berpikir sendiri, Anda juga bisa melakukan brainstorming. Siapkan kertas-kertas kecil, lalu tulis apa saja yang terlintas di pikiran Anda pada kertas itu. Tulis sebanyak-banyaknya, tulis apa saja yang terlintas, jangan pertimbangkan sistematika. Bongkar semua yang ada dalam pikiran. Nanti baru dicari sistematikanya.
Setelah terkumpul semua fakta dari berbagai sudut pandang, kita bisa melangkah ke tahap analisis selanjutnya. Tetap pelihara kesadaran bahwa yang sudah kita pikirkan mungkin saja masih kurang, mungkin saja ada alternatifnya. Selalu tanya diri kita, apakah ini sudah semua?

Ada satu lagi syarat untuk berpikir abundant (berlimpah), yaitu keberanian. Anda harus berani berkata “tidak” pada gagasan-gagasan lama dan usang. Anda juga tidak boleh sungkan. Pokok pikirannya adalah mencari solusi yang terbaik, bukan mengalahkan orang lain. Tidak boleh sungkan, lalu enggan mencari alternatif solusi. Tidak boleh ada prinsip mengalah. Tidak ada istilah mengalah untuk menang dalam hal ini. Justru sebaliknya, kita tidak mau kalah, agar semua menang.

Saya paham, tidak mudah untuk menganut cara berpikir ini. Tapi ini soal kebiasaan. Kalau terus Anda latih, Anda akan terbiasa.

Hasanudin Abdurakhman
Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Fisika FMIPA UGM, kemudian melanjutkan studi di bidang Applied Physics di Tohoku University hingga selesai studi Doktoral. Meniti karir sebagai peneliti di Kumamoto University dan Tohoku University. Saat ini berkarir sebagai eksekutif perusahaan Jepang di Jakarta selama 13 tahun terakhir.