Pendidikan Profesional Gaya Jepang

Artikel ini terakhir di perbaharui March 7, 2022 by Yoko Widito
Pendidikan Profesional Gaya Jepang

Di sini orang sering bicara soal lulusan perguruan tinggi yang siap kerja. Kalau melihat yang terjadi di Jepang, lulusan perguruan tinggi itu tidak dididik untuk siap kerja. Perusahaanlah yang mendidik mereka samapai siap bekerja.

Saya berbincang dengan kolega saya, orang Jepang. Dia adalah direktur keuangan dan akuntansi sebuah perusahaan yang lumayan besar. Tapi dia bilang bahwa dia bukan lulusan akuntansi. Bahkan lulusan fakultas ekonomi pun bukan. “Saya lulusan fakultas ilmu budaya, jurusan sejarah Eropa,” katanya. Kami berdua tertawa terbahak-bahak dengan cerita itu.

Saya tidak heran dengan cerita itu. Di Jepang perusahaan memang tidak melakukan rekrutmen dengan memperhatikan jurusan kuliah. Calon pekerja hanya dibagi dalam 2 kelompok: jurusan ilmu alam (rikakei) dan ilmu sosial (bunkakei). Perusahaan juga tidak spesifik membuka lowongan untuk posisi tertentu. Mereka hanya merekrut karyawan baru. Soal akan ditempatkan di mana, itu urusan nanti. Jadi, dalam perekrutan, mahasiswa jurusan fisika atau kimia, misalnya, ditempatkan satu kelompok dengan mahasiswa teknik. Mahasiswa jurusan sastra satu kelompok dengan jurusan akuntansi. Dengan begitu tak ada jurusan yang tidak kebagian lowongan kerja.

Saya harus tambahkan lagi informasi lebih detil soal mekanisme rekrutmen. Di Jepang orang lulus kuliah serentak, yaitu di bulan Maret. Sejak awal semester, bulan Oktober, para mahasiswa tahun keempat untuk program sarjana (biasa disebut yonensei) dan mahasiswa tahun keempat program master, mulai mencari pekerjaan. Mereka menyebutnya dengan istilah shushoku katsudo.

Para perekrut dari perusahaan datang ke kampus-kampus. Tentu saja berlaku rumus umum, perusahaan besar mendatangi kampus-kampus besar. Mahasiswa dari kampus kecil harus rela mencari informasi langsung ke website perusahaan, kalau hendak melamar ke perusahaan besar. Perekrut memamaparkan seluk-beluk perusahaan, kemudian melakukan seleksi. Ada seleksi yang dilakukan di kampus, ada pula yang dilakukan di perusahaan.

Orang-orang yang lolos seleksi disebut shin-nyushain, atau karyawan baru. Mereka akan menjalani training pendahuluan, kemudian bermacam tes, lalu dibagi ke pos-pos penempatan, kemudian menjalani training spesifik, khusus di bidang tempat mereka akan ditempatkan kelak. Di situlah para karyawan tadi dididik dengan kemampuan spesifik. Lulusan jurusan sastra akan mulai belajar keuangan, kalau ia ditempatkan di departemen keuangan. Lulusan jurusan fisika mungkin akan dididik dengan materi engineering, kalau ia ditempatkan di bagian itu.

Ini soal penting, menurut saya. Kita harus sadari bahwa profesional itu tidak dihasilkan di kampus, melainkan di tempat kerja. Di kampus orang belajar sekitar 4-6 tahun. Tapi ia akan bekerja setidaknya selama 30 tahun. Artinya, lebih panjang masa belajar dia di perusahaan dibanding dengan masa dia di kampus. Saya menyebut perusahaan sebagai lembaga pendidikan. Di situlah sebenarnya para profesional dididik.

Produk-produk teknologi tinggi yang kita pakai dihasilkan oleh para pengembang sekaligus para engineer di perusahaan. Keahlian mereka, sekali lagi, lebih banyak mereka dapat di perusahaan. Untuk bisa mendidik dan menghasilkan profesional, perusahaan harus punya sistem pendidikan yang terstruktur dan tertib. Perusahaan-perusahaan Jepang mengandalkan sistem pendidikan mereka untuk mendapatkan orang-orang profesional. Mereka tidak berharap mendapatkannya dengan membajak orang dari perusahaan lain.

Hasanudin Abdurakhman
Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Fisika FMIPA UGM, kemudian melanjutkan studi di bidang Applied Physics di Tohoku University hingga selesai studi Doktoral. Meniti karir sebagai peneliti di Kumamoto University dan Tohoku University. Saat ini berkarir sebagai eksekutif perusahaan Jepang di Jakarta selama 13 tahun terakhir.