Validasi produk adalah langkah penting untuk mengetahui apakah ide startup bisa berhasil. Di sini, kita akan melihat kembali sejarah masa lalu bagaimana beberapa perusahaan startup seperti Gojek dan Bukalapak menemukan percikan awal yang memungkinkan mereka membangun layanan populer yang saat ini dianggap remeh oleh orang-orang. Kami juga akan memeriksa startup yang tidak melewati ambang batas.
Cinta Dari Goweser
Bukalapak sekarang adalah salah satu unicorn Indonesia, tetapi pada awalnya ini hanyalah start up kecil. Pada tahun 2010, Achmad Zaky mulai membangun platform ecommerce ini dari sebuah kamar tidur di Cisitu, Bandung.
Ide tentang marketplace online saat itu masih sangat baru bagi orang Indonesia. Zaky pergi dari mall ke mall untuk mengundang retailer disana untuk bergabung dengan Bukalapak. Namun, sebagian besar menolak karena meragukan manfaat dan keamanan bisnis ecommerce miliknya.
Saat Zaky berhadapan dengan calon investor, sebagian besar ragu untuk mendukungnya karena belum ada contoh bisnis berbasis internet yang berhasil tumbuh di Indonesia.
“Mereka mengira bisnis harus berwujud,” kenang Zaky dalam webinar publik. “Saya mengerti mengapa mereka berpikir seperti itu.”
Dijauhi retailer dan investor, Zaky mencoba strategi lain. Alih-alih bekerja langsung dengan merek terkenal, dia mencari validasi melalui komunitas. Target berikutnya? Goweser atau pecinta sepeda
Zaky melihat anggota komunitas ini sering jual beli suku cadang atau perlengkapan sepeda lainnya. Dia kemudian menggunakan anggaran pemasarannya untuk menargetkan segmen ini, membuat dan mendistribusikan stiker di acara komunitas.
Dia menemukan biaya pemasaran dari strategi ini rendah. Di saat yang sama, nama Bukalapak tidak hanya semakin populer, namun Zaky juga bisa berinteraksi langsung dengan penggunanya. Dia memahami fitur apa yang mereka sukai dan fitur apa yang mereka butuhkan tetapi belum tersedia.
Sejak saat itu, jumlah pengguna dan transaksi Bukalapak mulai meningkat secara perlahan namun konsisten. Saat Zaky memulai penggalangan dana pada tahun 2011 lalu, timnya memperkenalkan diri kepada investor sebagai pasar sepeda terbesar di Indonesia.
Pengalaman ini menjadi pelajaran bagi Zaky. Dia percaya bahwa tidak ada bisnis yang dapat tumbuh dengan menargetkan seluruh pasar sekaligus sejak awal. Sebaliknya, segmen yang ideal untuk memulai adalah yang paling menguntungkan.
Setelah menargetkan komunitas pecinta sepeda, Zaky memperluas kategori seperti fotografi dan mobil. Tanpa pendekatan ini, dia yakin perusahaan tidak akan menjadi seperti sekarang ini.
Dari Call Center Hingga Decacorn
Saat ini, banyak orang yang memesan berbagai layanan Gojek melalui aplikasi smartphone. Yang banyak dilupakan adalah sejarah panjang aplikasi ini yang diluncurkan pada 2015, atau sekitar enam tahun setelah Gojek didirikan.
Saat Gojek meluncurkan branding barunya pada April 2019, co-founder Nadiem Makarim mengatakan bahwa sejarah berdiri perusahaannya bermula dari layanan call center sederhana yang berlokasi di garasi sewaan seluas 5 x 7 meter persegi di Jalan Kerinci, Jakarta Selatan.
Saat itu, masyarakat yang ingin memesan kendaraan harus menghubungi call center melalui SMS, Blackberry Messenger, atau Yahoo Messenger. Tim Gojek akan mencatat kebutuhan pelanggan di spreadsheet, kemudian mencari mitra pengemudi yang tersedia yang paling dekat dengan lokasi pelanggan.
Setelah mengoordinasikan pemesanan, tim pusat panggilan akan menghubungi klien lagi dan mencocokkannya dengan mitra pengemudi yang ditugaskan.
Namun pada 2014, Gojek hanya memiliki 20 mitra pengemudi. Akibatnya, pelanggan seringkali harus menunggu selama 15 hingga 30 menit untuk mendapatkan tumpangan.
Seperti Bukalapak, masa-masa sejarah awal Gojek berdiri sangat sulit.
“Tidak ada yang mendanai, jadi kami harus meminjam uang dari teman dan keluarga,” kata Makarim. “Saya bekerja di tempat lain untuk mencari nafkah dan menutupi biaya Gojek.”
Bahkan setelah aplikasi dirilis, tim Gojek masih terlibat, sering kali menjadi mitra pengemudi sendiri.
Ini adalah cara untuk memastikan bahwa analisis data penggunaan mereka sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan dan mengidentifikasi poin masalah pelanggan.
Platform Tiket Bus Online Yang Gagal
Namun, beberapa startup pasti gagal. Pada tahun 2014, An’imna Husna, pendiri YEC.co.id mencoba membangun platform tiket bus online.
Idenya sederhana: Dia ingin calon penumpang bisa membeli tiket bus lewat handphone lalu membayarnya di gerai Indomaret atau Alfamart di seluruh Indonesia. Konsepnya mirip dengan redBus India atau Easybook dari Singapura.
Ide tersebut didapat Husna setelah melihat betapa rumitnya sistem tiket bus di Indonesia:
- Agen tidak suka menerima pesanan melalui telepon. Itu karena beberapa penumpang akan memesan tiket tetapi kemudian membatalkannya tanpa pemberitahuan.
- Akibatnya, pelanggan hanya bisa memesan dan membayar tiket dengan mendatangi lokasi agen.
Untuk memvalidasi teori tersebut, Husna dan rekannya, Arif Kurnia Putra, kemudian menyewa mobil dan berkeliling Pulau Jawa, berdiskusi dengan agen perjalanan dan pemilik armada bus serta mendapatkan pandangan dan wawasannya.
Husna dan Arif memanfaatkan stasiun pengisian bahan bakar di sepanjang jalan untuk beristirahat di malam hari. Pada akhirnya, Husna menemukan bahwa konsepnya terlalu sulit untuk dijalankan karena dua faktor utama:
- Pemilik armada sangat bergantung pada agen. Agen tidak hanya menangani keberangkatan penumpang, tetapi mereka juga menyelesaikan masalah lain seperti tiket lalu lintas atau kecelakaan. Pengelola armada bus juga merasa upaya mengadopsi sistem tiket online tidak sebanding dengan manfaatnya.
- Margin dari penjualan tiket bus sangat kecil, dengan sebagian besar berasal dari perjalanan malam. Setiap bus malam memiliki maksimal 48 kursi dan melakukan perjalanan sekali sehari. Kapasitas ini jauh lebih terbatas dibandingkan pesawat yang mampu menampung ratusan kursi dan terbang hingga empat kali sehari.
Perjalanan bus juga mengalami penurunan. “Ketika kondisi ekonomi membaik, bus semakin menjadi pilihan terakhir sebagai moda perjalanan,” kata Husna kepada Tech in Asia Indonesia.
Karena masalah ini, Husna yakin idenya tidak akan mencapai skala ekonomi dan meraup untung. Menurutnya, hanya startup mapan seperti Traveloka yang bisa menyediakan platform seperti itu, dan kalaupun bisa, itu hanya sebagai bisnis sampingan.
Terlepas dari hasilnya, Husna tidak menyesali waktu dan tenaga yang ia habiskan untuk mencoba mewujudkan idenya.
Bagaimanapun, ini bisa menjadi lebih buruk. Dia bisa saja terus maju dan membangun aplikasi dan mempekerjakan karyawan, hanya untuk mengetahui terlambat bahwa asumsinya salah.