Mengubah Pola Pikir Soal Inventori

Artikel ini terakhir di perbaharui January 4, 2021 by Yoko Widito
Mengubah Pola Pikir Soal Inventori

Inventori adalah barang-barang yang dibeli untuk keperluan produksi, juga barang yang dihasilkan dari kegiatan produksi. Ada bahan baku, barang setengah jadi (work in process-WIP), dan barang jadi. Inventori disimpan, dicatat, dan diperiksa secara berkala, untuk memastikan keberadaan serta jumlahnya.

Dalam pengalaman saya mengurus pabrik, inventori selalu memusingkan. Kami selalu berhadapan dengan masalah ketidakcocokan angka di catatan dengan jumlah aktual di gudang. Sudah dibuatkan sistem yang secara logis seharusnya memastikan kecocokan antara kedua data tadi, tapi faktanya selalu saja angka itu tidak cocok. Sumber masalahnya adalah ketidakdisiplinan operator saat mencatat keluar masuknya inventori dalam pekerjaannya.

Tapi masalah yang utama sebenarnya bukan itu. Masalahnya jauh lebih mendasar: kenapa inventori itu ada? Dalam prinsip lean manufacturing, inventori adalah dosa. Semakin besar inventori, semakin besar dosa perusahaan. Inventori harus dihilangkan. Kenapa? Bukankah tanpa inventori kita tidak bisa berproduksi? Inilah pola pikir yang harus diubah.

Kita sebenarnya tidak perlu inventori, dalam arti stok barang yang disimpan. Kita hanya perlu barang yang akan dipakai untuk produksi. Bila dalam sehari untuk produksi kita memerlukan 50 kg bahan baku, misalnya, maka sebanyak itu sajalah yang perlu masuk ke pabrik kita. Demikian pula dengan barang jadi. Bila kita hanya menerima pesanan sebanyak 50 unit, maka hanya sebanyak itu sajalah yang perlu kita produksi.

Kenyataan yang terjadi di lapangan tidak demikian. Orang membeli bahan baku dalam jumlah besar untuk disimpan. Barang diolah menjadi barang setengah jadi, untuk disimpan lagi. Kemudian barang yang sudah diproduksi menjadi barang jadi kembali disimpan.

Apa yang kita hasilkan dari penyimpanan inventori? Tidak ada. Selama penyimpanan, kita tidak memberi nilai tambah pada inventori. Yang terjadi adalah sebaliknya, kita mengeluarkan biaya. Penyimpanan inventori membutuhkan biaya untuk gudang dan rak. Juga ada biaya sistem administrasi, dan tenaga kerja untuk mengelolanya. Selama disimpan inventori cenderung menurun kualitasnya, juga ada potensi rusak sehingga menjadi tidak bernilai sama sekali. Itu adalah potensi kerugian.

Tapi kenapa inventori ada dalam volume besar? Para pengelola pabrik sulit menerima kemungkinan tiadanya inventori dalam proses produksi. Ada pola pikir antisipatif, yaitu harus ada stok untuk keperluan “kalau ada apa-apa”. Apa misalnya? Keterlambatan pengiriman dari supplier, hambatan dalam proses produksi, tidak tercapainya target kualitas, dan sebagainya. Bila itu terjadi dan perusahaan sedang tidak punya stok, para penanggung jawab lapangan akan jadi sorotan. Itulah yang coba dihindari dengan inventori.

Ringkasnya, kalau tidak ada inventori, para manajer tidak tenang. Sebaliknya, kalau ada inventori, mereka tenang. Kalau pun terjadi kesalahan, mereka tidak perlu khawatir, karena ada persediaan cadangan. Mereka selalu berpikir untuk berproduksi selagi masih bisa. Jadi, buatlah sejumlah stok ketika sedang bisa, sehingga kalau ada hambatan, tidak akan jadi masalah.

Itu adalah pola pikir yang juga menyebabkan produksi berlebih, yaitu produksi yang melebihi yang dibutuhkan oleh pelanggan. Keduanya produksi berlebih dan inventori adalah kemubaziran yang harus dihilangkan berdasarkan prinsip “7 Kemubaziran” atau dalam bahasa aslinya disebut “Nanatsu no muda”. Artinya, keduanya harus dihilangkan menurut prinsip lean manufacturing.

Apa masalah pola pikir tadi? Manajer berpikir untuk menyimpan stok cadangan untuk mengantisipasi kalau terjadi masalah yang menghambat produksi. Dengan rasa aman itu para manajer di lapangan jadi tidak berpikir atau kurang sensitif terhadap gagasan mencari solusi untuk menghilangkan masalah tadi. Pikiran untuk mencari solusi tertutup oleh rasa aman tadi. Karena itulah kaizen tidak terjadi.

Inilah perubahan pola pikir mendasar yang harus dilakukan. Pertama, anggap inventori itu sebagai dosa. Demikian pula produksi berlebih yang memunculkan inventori itu. Lalu, bagaimana kalau ada masalah tadi? Carikan solusi antisipatif agar masalah-masalah itu tidak terjadi. Inilah pola pikir kaizen. Untuk mencegah hambatan produksi, harus dilakukan perawatan mesin secara berkala. Untuk mencegah cacat produksi, latihlah pekerja, tetapkan standar. Dengan pola pikir baru ini ruang untuk kesalahan, keterlambatan, waktu tunggu, dan sebagainya dihilangkan. Produksi dilakukan dengan efisiensi tinggi.

Pola pikir antiinventori sebenarnya tidak sekadar bersumber dari keinginan untuk menurunkan nilai inventori yang membebani keuangan perusahaan. Pola pikir ini sebenarnya memicu kreativitas dalam melakukan kaizen. Tapi bagaimana dengan masalah yang ditimbulkan oleh pihak luar, yaitu supplier? Untuk memastikan berjalannya sistem tanpa inventori, Toyota tidak hanya membangun sistemnya sendiri, namun juga melakukan supervisi yang ketat terhadap para suppliernya. Ini menjadi suatu pola pikir yang juga sangat penting, yaitu bahwa kaizen bukan sekadar bagaimana sebuah perusahaan berubah, tapi soal bagaimana perusahaan-perusahaan yang berbisnis bersama melakukan perbaikan secara kolektif.

Hasanudin Abdurakhman
Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Fisika FMIPA UGM, kemudian melanjutkan studi di bidang Applied Physics di Tohoku University hingga selesai studi Doktoral. Meniti karir sebagai peneliti di Kumamoto University dan Tohoku University. Saat ini berkarir sebagai eksekutif perusahaan Jepang di Jakarta selama 13 tahun terakhir.