Menata Ulang Sektor Industri Pariwisata Nusantara

Artikel ini terakhir di perbaharui November 29, 2020 by Yahya Kus Handoyo
Menata Ulang Sektor Industri Pariwisata Nusantara

Total kerugian industri pariwisata Indonesia pada April 2020 di proyeksi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia ( PHRI ) mencapai Rp 85,7 triliun. Angka Gigantis tersebut membuktikan, bahwa pariwisata memang menjadi salah satu sektor yang paling berdampak akibat pagebluk Covid-19. Dalam skala global, paparan data organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) jumlah pelesir wisatawan menurun mencapai 44 persen !. Nusantara sendiri di proyeksi kunjungan wisatawan mancanegera ( wisman )  hanya akan berkisar 4 juta orang dari target awal 18 juta wisman.

Kita tentu saja tidak bisa berharap banyak dalam situasi sulit pandemi untuk menggenjot pariwisata. Memang terlihat langkah-langkah pemerintah melakukan beberapa perencanaan dengan program implementasi CHSE ( Cleanliness, Healthy, Safety, Environment Friendly ) dalam memulihkan industri pariwisata. Namun, tentu saja, menarik wisatawan untuk berlibur akan sulit sekali, mengingat turbulensi ekonomi yang tengah resesi jelas menggerus pendapatan masyarakat. Belum lagi, adanya travel warning dari sejumlah negara dunia, untuk menunda kunjungan ke negeri kita, akibat tren penyebaran kasus Covid-19 telihat tinggi.

Pertanyaannya sekarang, apakah dengan mati surinya sektor wisata, mungkinkah ada hal yang lain dapat di create ? Sebenarnya pariwisata masih mungkin bergerak paling tidak berharap dari kunjungan wisatawan nusantara ( wisnus ). Namun, kembali lagi, tentu tidak akan terlalu signifikan mengingat pendapatan warga menurun drastis khususnya kelas menengah yang selama ini menyisihkan penghasilannya untuk melancong. Berwisata tentu tidak lagi menjadi terjadwal untuk relaksasi karena penatnya sehabis bekerja atau berwirausaha. Prioritas publik saat ini jelas mengutamakan kebutuhan dasar konsumsi harian.

Menata Ulang Industri Pariwisata Nusantara

menata ulang sektor industri pariwisata

Pariwisata berkelanjutan ( sustainable tourism ) menjadi topik perbincangan hangat saat ini, akibat rehat kunjungan wisata. UNWTO mendefinisikannya sebagai pariwisata yang bukan hanya sekedar menggaet pelancong namun mengabaikan keberlansungannya di masa depan akan tetapi lebih mengutamakan kebutuhan wisatawan, industri, lingkungan dan masyarakat setempat. Setali tiga uang, UNWTO memang juga menganjurkan lebih tepat jika saat pandemi lebih mengutamakan wisnus agar anggaran yang terbatas pada kementerian terkait, tidak menjadi mubazir karena terlalu memaksakan menarik wisman.

Sebenarnya konsep pariwisata berkelanjutan selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Ide utamanya memang mengintegrasikan perspektif ekonomi dan ekologi. Pembangunan berkelanjutan memerlukan proses integrasi ekonomi dan ekologi melalui upaya perumusan paradigma dan arah kebijakan yang bertumpu pada kemitraan dan partisipasi para pelaku pembangunan dalam mengelola sumberdaya seoptimal mungkin ( Baiquni, 2002 ). Karena itu, harapannya program prioritas destinasi unggulan “ 10 Bali Baru “ yaitu Pantai Tanjung Kelayang, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, danau Toba di Sumatera Utara, Pantai Tanjung Lesung di Banten, di kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Seribu DKI Jakarta, Candi Borobudur di Jawa Tengah, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur, , Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Pulau Morotai di Maluku Utara, dan Wakatobi di Sulawesi Tenggara harus menjadi projek pilot pemerintah mengimplementasikan konsep pariwisata berkelanjutan tersebut agar ekosistem destinasi wisata yang terbentuk tidak lagi menguntungkan segelintir pihak saja tanpa memberikan dampak positif ekonomi bagi warga sekitar dan lingkunganpun dapat lebih terjaga kualitasnya.

Menerapkan Community Based Tourism

Community Based Tourism

Pertanyaan besarnya, bagaimana menerapkan pariwisata berkelanjutan hingga ke akar rumput ? Jawabannya, ada pada pariwisata komunitas atau lebih di kenal dengan  CBT ( community based tourism ). CBT adalah sebuah konsep yang mengusung warga setempat lebih berdaya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Ini sejalan dengan tujuan pariwisata berkelanjutan. Mengusung konsep CBT atau di sebut juga community development memang berfokus pada ekonomi, prasarana fisik, pembangunan di bidang kesehatan dan kesejahteraan.

Inilah konsep yang harus di terapkan pada destinasi prioritas unggulan Nusantara agar distribusi kesejahteraan warga terealisasi dan mendorong efek domino pada 16 subsektor industri kreatif lainnya, sehingga tidak terjadi lagi kecemburuan warga lokal menyaksikan daerahnya sebagai episentrum wisata namun justru hanya menjadi penonton tanpa memiliki kesempatan meningkatkan taraf hidupnya. Semoga dalam masa pandemi dan pasca pandemi, konsep dan program diatas semakin agresif di realisasikan agar dukungan infastruktur yang terlihat bertahap telah di eksekusi pemerintah dari mulai jalur transportasi menuju destinasi pariwisata dan dukungan konektivitas Palapa Ring yang menghubungkan ribuan titik wilayah Nusantara yang efektif berfungsi sebagai ajang promosi dan pemasaran digital, tidak menjadi sia-sia belaka. Semoga segera cepat dapat terwujud sehingga menunjang distribusi ekonomi yang merata dan di rasakan seluruh warga.

Bery M.
Menulis di berbagai media daring nasional dan daerah mengenai isu sektoral, demografi, startup dan sosial. Saat ini menggeluti dunia pemasaran, khususnya branding, dan belakangan sedang mengembangkan beberapa Aplikasi.